Jumat, 25 Maret 2011

Laut

Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Ministry of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia
Ada Apa Dengan Laut
26/06/2009 - Kategori : Artikel
Ada Apa Dengan Laut

Membentang di garis khatulistiwa, perairan laut nusantara menopang aneka kehidupan hayati. Lautan topis seluas 5,8 juta km2 (kilometer persegi) menutupi hampir 70 persen dari sekitar 7,8 juta km2 wilayah Indonesia. Samudera raya itu bersentuhan langsung dengan 17.480 pulau dengan panjang garis pantainya mencapai 95.186 km, dan merupakan garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia.
Pada kedalamannya, laut Indonesia memendam hamparan terumbu karang yang ditempati lebih dari 500 spesies dari 70 genus terumbu karang.Taman air dangkal ini membentuk relung-relung ekologi yang didiami ratusan ikan karang, alga, crustacea, moluska, mamalia, dan reptilia laut. Komunitas biota laut dan terumbu karang ini berpadu membentuk surga bawah laut yang indah.
Indonesia berada pada peringkat kedua yang memiliki terumbu karang terluas di dunia setelah Australia dan merupakan pusat segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan istilah “The Coral Triangle” yang merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. The Coral Triangle tersebut meliputi enam negara yaitu Malaysia, Philipina, Timor Leste, Papua Nugini, Indonesia, dan Kepulauan Solomon. Posisi ini tentunya membuat terumbu karang Indonesia menjadi lebih penting, karena disamping menjadi sumber penghidupan masyarakat Indonesia juga bagi dunia.
Sayangnya terumbu karang mulai terancam kelestariannya karena berbagai masalah pencemaran dan cara penangkapan ikan yang merusak terumbu karang. Kerusakan terumbu karang terbesar disebapbkan oleh penangkapan ikan dengan menggunakan bom ikan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, bahan peledak 0,5 kilogram bila diledakkan pada dasar terumbu karang menyebabkan matinya ikan yang berada di dalamnya sampai radius 10 meter dari pusat ledakan. Adapun terumbu karang yang hancur sama sekali sampai radius tiga meter dari pusat ledakan. Ledakan bom tersebut menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem terumbu karang yang telah teridentifikasi sejak tahun 1990-an. Hasil penelitian Pusat Penelitian Oseanografi LIPI tahun 2006 menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang yang sangat baik hanya tinggal 5,23%, baik 24,26%, cukup 37,34% dan yang kurang baik atau rusak sebesar 33,17%. Kondisi yang lebih menghawatirkan dibandingkan data pada tahun 2005 dimana yang sangat baik masih tercatat sebesar 5,8%, baik 25,7% dan kurang baik atau rusak sebesar 31,9%.
Kerusakan itu menghilangkan peluang ekonomi pariwisata senilai 3.000 hingga 500.000 dollar AS per kilometer persegi. Sebaliknya, jika terumbu karang rusak diperlukan dana besar untuk pemulihannya dan memakan waktu yang lama hingga 50 tahun.
Salah satu usaha pengembangan wilayah pesisir yang asli bagi pariwisata dan rekreasi adalah pembentukan Taman Nasional Laut (TNL) dan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) yang memadukan usaha perlindungan dan pelestarian sumber daya alam dengan kepariwisataan. Saat ini Indonesia memiliki 7 Taman Nasional Laut dan 18 Taman Wisata Alam Laut (lihat Tabel 1 dan Tabel 2). Keberadaan TNL dan TWAL tersebut menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar, sehingga pendapatan dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Masyarakat dapat bekerja sebagai pemandu wisata, pedagang, dan pembuat cinderamata. Selain itu masyarakat juga dapat mendirikan fasilitas – fasilitas pendukung pariwisata, seperti cottage, gedung pertemuan, sarana transportasi, bar, bungalow, restoran, toko, tempat berkemah, hingga pengelolaan diving centre di kawasan TNL dan TWAL. Selain itu, dengan penetapan kawasan TNL nelayan berharap bisa dengan leluasa melakukan penangkapan, penangkaran ataupun budidaya ikan perairan laut. Karena salah satu zona dari tiga zona pembagian kawasan itu ditetapkan sebagai Zona Pemanfaatan Intensif (kawasan yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan berbagai keperluan seperti pembangunan cottage, pariwisata, serta budidaya perikanan). Sedangkan, dua zona lainnya masing-masing ditetapkan sebagai Zona Inti (kawasan yang harus dilindungi dan diamankan kelestariannya untuk kepentingan penelitian) dan Zona Pemanfaatan Tradisional (kawasan yang diperbolehkan bagi nelayan lokal untuk memanfaatkan sumber daya alamnya seperti penangkapan ikan secara tradisional).


Tabel 1. Taman Nasional Laut (TNL)
No Nama Luas (Ha) Provinsi
1. Taman Nasional Laut Bunaken 89.065 Sulawesi Utara
2. Taman Nasional Laut Taka Bonerate 530.765 Sulawesi Selatan
3. Taman Nasional Laut Teluk Cendrawasih 1.453.500 Papua
4. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu 107.489 DKI Jakarta
5. Taman Nasional Laut Wakatobi 1.390.000 Sulawesi Tenggara
6. Taman Nasional Laut Karimun Jawa 111.625 Jawa Tengah
7. Taman Nasional Laut Kepulauan Togean 362.605 Sulawesi Tengah
(Sumber: DKP, 2007)

Tabel 2. Taman Wisata Alam Laut
No Nama Luas (Ha) Provinsi
1. Pulau Kasa 1.100 Maluku Tengah
2. Pulau Samama Sangalaki 280 Kalimantan Timur
3. Pulau Weh Sabang 3.900 NAD
4. Teluk Maumere 59.450 NTT
5. Pulau Sangiang 1.228 Jawa Barat
6. Teluk Kupang 50.000 NTT
7. Gili Anyer, Gili Meno, Gili Trawangan 2.954 NTB
8. Pulau Pombo 998 Maluku Tengah
9. Tujuh Belas Pulau 9.900 NTT
10. Kepulauan Banyak 227.500 NAD
11. P. Moyo 6.000 NTB
12. Pulau Padaido 183.000 Papua
13. Pulau Satonda 2.600 NTB
14. P. Marsegu 11.000 Maluku Tengah
15. Teluk Lasolo 81.800 Sulawesi Tenggara
16. Kapoposang 50.000 Sulawesi Tenggara
17. Pulau Pieh 39.900 Sumatera Barat
18. Kepulauan Padamarang 36.000 Sulawesi Tenggara
(Sumber: DKP, 2007)








DAFTAR PUSTAKA

DKP. 2007. Informasi Konservasi Kawasan Perairan di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Mulyana dan Agus Dermawan. 2008. Konservasi Kawasan Perairan Indonesia Bagi Masa Depan Dunia. DKP. Jakarta.
Mukhtar. 2009. Garis Pantai Indonesia Terpanjang Keempat di Dunia www.dkp.go.id. Jakarta.

Penulis : Muhammad Al Rizky, S.St.Pi (staf Pelaksana di Loka KKPN Pekanbaru)


( Print Halaman ini )

Copyright © 2008 | Pusat Data, Statistik dan Informasi (PUSDATIN) - DKP. All Rights Reserved Privacy PolicyRSS FeedXHTMLCSS






PENERAPAN KONSEP KONSERVASI SUMBER DAYA HAYATI PERAIRAN
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem khas perairan pesisir tropik yang ditandai dengan keanekaragaman jenis biota yang hidup didalamnya. Biota yang hidup di terumbu karang merupakan suatu komunitas yang terdiri dari berbagai tingkatan tropik dan struktur tropik yang lengkap. Sebagai suatu lingkungan hidup, ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai gudang keanekaragaman hayati, sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan, daerah asuhan dan tempat berlindung bagi organisme lain.
Ditinjau dari segi sosial ekonomi, terumbu karang berfungsi sebagai sumber makanan baik secara langsung maupun tidak langsung, sumber obat-obatan serta sumber utama bahan kontruksi. Selain terumbu karang mempunyai nilai yang penting sebagai pendukung atau penyedia bagi perikanan pantai, termaksuk di dalamnya sebagai penyedia lahan dan tempat budidaya berbagai hasil laut (Hariyano, 2002).
Terumbu karang dan segala kehidupan yang terdapat di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang bernilai tinggi. Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung antara lain sebagai habitat ikan dan biota lainnya, pariwisata bahari, dan lain-lain. Sedangkan manfaat tidak langsung, antara lain sebagai penahan abrasi pantai, dan pemecah gelombang.
Baik secara langsung maupun tidak langsung, ekosistem terumbu karang dimanfaatkan manusia untuk berbagai keperluan hidup antara lain sebagai sumber protein hewani, obat-obatan, bahan bangunan, pariwisata dan tempat pembuangan limbah.
Kegiatan perikanan yang merusak, seperti memakai alat peledak dan penggunaan jaring insang dan pukat dapat membuat kerusakan fisik yang ekstensif bagi terumbu karang dan mengakibatkan tingginya persentase kematian ikan yang belum dewasa (yaitu bibit ikan dewasa dimasa mendatang). Penggunaan sianida dan racun lain untuk menangkap ikan akuarium juga berdampak negatif.







Gambar 1. salah satu kegiatan perikanan yang dilakukan manusia yaitu kegiatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak.
Pembuangan limbah industri dan rumahtangga meningkatkan tingkat nutrisi dan racun dilingkungan terumbu karang. Pembuangan limbah tak diolah langsung ke laut menambah nutrisi dan pertumbuhan alga yang berlebihan. Limbah kaya nutrisi dari pembuangan atausumber lain khususnya amat mengganggu, karena mereka meningkatkan perubahan besar dari struktur terumbu karang secara perlahan dan teratur. Alga mendominasi terumbu hingga melenyapkan karang pada akhirnya(Done, 1992; Hughes, 1994). Kegiatan kapal dapat berdampak bagi terumbu melalui tumpahan minyak dan pembuangan dari ballast kapal. Walaupun konsekuensinya kurang dikenal, hal ini berdampak lokal yang berarti. Kerusakan fisik secara langsung dapat terjadi karena kapal membuang sauh di terumbu karang dan pendaratan kapal tak disengaja.
Banyak kegiatan lain yang terjadi langsung di terumbu karang menyebabkan kerusakan fisik bagi karang dan oleh karena itu mempengaruhi integritas struktur karang. Kerusakan seperti ini seringkali terjadi dalam hitungan menit tetapi tahunan untuk memperbaikinya. Sebagai tambahan dari kegiatan sebagaimana disebutkan diatas, kerusakan dapat pula disebabkan karena orang menginjak karang untuk mengumpulkan kerang dan organisme lain didataran terumbu karang atau di daerah terumbu karang yang dangkal, dan penyelam (diving maupun snorkel) berdiri diatas atau mengetuk-ketuk terumbu karang.
Terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti hutan mangrove, dan padang lamun. Oleh karena itu, pengelolaan terumbu karang harus memperhatikan dan menggunakan pendekatan menyeluruh dan terpadu. Selain itu, pengelolaan terumbu karang juga harus mempertimbangkan pelaksanaan desentralisasi.
Konsep pengelolaan terumbu karang yang baik adalah berdasarkan prinsip-prinsip :
1. Mengidentifikasi wilayah-wilayah terumbu karang yang kurang rusak dan meninjau ulang sistem zonasi dan batasan-batasan. dengan adanya peninjauan ulang wilayah terumbu karang yang rusak maka dapat diperoleh data yang akurat tentang kerusakan terumbu karang sehingga ada batasan-batasan yang diberlakukan khususnya untuk kegiatan penangkapan yang tidak ramah lingkungan.
2. Menjaga keseimbangan keanekragaman hayati yang berada di ekosistem terumbu karang.
3. Pemerintah dan segenap stakeholders yang terkait membuat rencana pengelolaan dan pemanfatan yang berkeadilan dan berkesinambungan.
4. Pengelolaan didasarkan pda data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan.

Tingkat Kematangan Gonad pada Ikan

KEMATANGAN GONAD PADA IKAN
Kematangan gonad ikan pada umumnya adalah tahapan pada saat perkembangan gonad sebelum memijah. Selama proses reproduksi, sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad. Bobot ikan akan mecapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Menurut Effendie (2002), pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10 – 25 % dari bobot tubuh, dan pada ikan jantan 5-10 %. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin bertambahnya tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin besar. Pendapat ini diperkuat oleh Kuo et al (1979) bahwa kematangan gonad ikan dicirikan dengan perkembangan diameter rata-rata telur dan pola distribusi ukuran telurnya
1. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Tabel. TKG Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Retnowti,1991).
TKG Kelamin Jantan Kelamin Betina
I Secara morfologi, bentuk gonad seperti benang tipis yang mengisi sisi lengkungan karapas berwarna putih, secara histologi, banyak dijumpai Spermatogonia yang mengalami pembelahan mitosis, Secara morfologi, bentuk gonad memanjang di sisi lekungan karapas, agak lunak berwarna putih pucat
Secara histologi terdapat oogonia dalam jumlah yang banyak dengan sedikit oosit I
II Secara morfologi, bentuk gonad sudah memanjang, cabang-cabang membesar dan menyusup ke otot dan jaringan pengikat, berwarn aputih pucat
Secara histologi, ditemukan lebih spermatid Secara morfologi, bentuk gonad bertambah besar mengisi hampir semua permukaan dorsal chepalotorax: terdiri dari 2 warna putih pucat dan agak jingga
Secara histologi, sudah banyak di temukan oosit I dan sedikit oogonia dan oosit II pada bagian gonad yang hampir matang
III Secara morfologi, bentuk gonad membengkak di bawah karapas dan menyelubungi saluran pencernaan, warna tetap putih pucat
Secara histologi, ditemukan spermatid dalam jumlah banyak Secara morfologi, gonad makin membengkak, permukaannya tidak rata dan pelebarannya sampai menutupi saluran pencernaan dan insang, wanra dominan kuning jingga
Secara histologi, ditemukan sejumlah besar oosit II dan sedikit oosit I
IV Untuk tahap ini belum ditemukan sampelnya Secara morfologi, bentuk gonad makin mengecil lagi dan warna kembali memucat
Secara histologi, banyak terdapat oosit II yang sudah dikeluarkan pada waktu memijah.



2. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) (wilson,1982)

TGK I. Gonad memanjang, kecil hampir transparan
TKG II. Gonad membesar, berwarna pink-krem, butiran telur belum dapat terlihat dengan mata telanjang
TKG III. Gonad berwarna krem kekuningan, butiran telur sudah dapat terlihat dengan mata biasa
TKG IV. Butiran telur membesar dan berwarna kuning jernih, dapat keluar dengan sedikit penekanan pada bagian peni
TKG V. Gonad mengecil, berwarna merah dan banyak terdapat pembuluh ilaiah
Cakalang dengan TKG III selalu di dapat dengan presentae yang tinggi. TKG II dan V juga hampir selalu di dapat, meskipun dengan presentasi yang kecil. Vase intermediate dan TKG I dijimpai pada cakalang berukuran lebih pendek dari 35 cm. Cakalang berpijah sepanjang tahun dengan puncaknya pada bulan juli.

3. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Udang Windu


TKG I (Early Maturing Stage) : garis ovari kelihatan hijau kehitam-hitaman yang kemudian membesar. pada akhir TKG I garis nampak jelas berupa garis lurus yang tebal
TKG II (Late Maturing Stage) : warna ovari semakin jelas dan semakin tebal. pada akhir TKG II ovari membentuk gelembung pada ruas abdomen pertama
TKG III (The Mature Stage) : terbentuk beberapa gelembung lagi sehingga ovarium mempunyai beberapa gelembung pada ruas abdomennya. gelembung pada ruas pertama membentuk cabang ke kiri maupun kekanan yang menyerupai setengah bulan sabit. tingkat ini merupakan vase terakhir sebelum udang melepas telurnya
TKG IV (Spent Recovering Stage) : bagian ovarium terlihat pucat yang berarti telur telah dilepaskan
4. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan lele (clarias sp) (chinabut et al. 1991)

Stadium 1: Oogonia dikelilingi satu lapis set epitel dengan pewarnaan hemaktosilin-eosin plasma berwarna merah jambu dengan inti yang besar di tengah
Stadium II: Oosit berkembang ukurannya, sitoplasma bertambah besar, inti biru terang dengan pewarnaan, dan terletak masih di tengah sel. oosit dilapisi oleh satu lapis epitel
Stadium III: Pada stadium ini berkembang sel folikel dan oosit membesar dan provitilin nukleoli mengelilingi inti
Stadium IV: Euvitilin inti telah berkembang dan berada di sekitar selaput inti. stadium ini merupakan awal vitelogenesis yang ditandai dengan adanya butiran kuning telur pada sitoplasma. pada stadium ini, oosit dikelilingi oleh dua lapis sel dan lapisan zona radiate tampak jelas pada epitel folikular
Stadium V: Stadia peningkatan ukuran oosit karena diisi oleh kuning telur. butiran kuning telur bertambah besar dan memenuhi sitoplasma dan zona radiate terlihat jelas
Stadium VI: Inti mengecil dan slaput inti tidak terlihat, inti terletak di tepi. zona radiate, sel folikel, dan sel teka terlihat jelas.


5. Tingkat kematangan gonad ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi Bleeker) .

Tabel. Tingkat kematangan gonad ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi Bleeker) .

Tingkat Betina Jantan
I Ikan muda
Gonad seperti sepasang benang yang memanjang pada sisi lateral rongga peritoneum bagian depan, berwarna bening dan permukaan licin. Gonad berupa sepasang benang tetapi jauh lebih pendek dibandingkan ovarium ikan betina pada stadium yang sama dan berwarna jernih .
II Masa Perkembangan
Gonad berukuran lebih besar, berwarna putih kekuningan, telur-telur belum bisa dilihat satu persatu dengan mata telanjang. Gonad berwarna putih susu dan terlihat lebih besar dibandingkan pada gonad tingkat I.
III Dewasa
Gonad mengisi hampir setengah rongga peritoneum, telur-telur mulai terlihat dengan mata telanjang berupa butiran halus, gonad berwarna kuning kehijauan. Gonad mengisi hampir setengah dari rongga peritoneum, berwarna putih susu dan mengisi sebagian besar peritoneum.
IV Matang
Gonad mengisi sebagian besar ruang peritoneum, warna menjadi hijau kecoklatan dan lebih gelap. Telur-telur jelas telihat dengan butiran-butiran yang jauh lebih besar dibandingkan pada tingkat III. Gonad makin besar dan pejal berwarna putih susu dan mengisi sebagian besar peritoneum.
V Mijah
Gonad masih seperti pada tingkat IV, sebagian gonad kempes karena sebagian telur telah mengalami oviposisi (mijah). Gonad bagian anal telah kosong dan lebih lembut.
Sumber : Siregar,S (1991).













6. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Albacore (Thunnus germo) menurut otsu dan hansen

1. Pada perkembangan awal: ovarium berisi telur primitif yang transparan atau telur ada dalam tingkat awal perkembangan. pengendapan kuning telur tidak jelas.
2. Perkembangan akhir: telur tidak jernih, sangat banyak pengendapan kuning telur. garis tengah telur antara 0.4-0.8mm
3. Lanjut: ovarium mendekati tingkat mendekati tingkat masak. telur semi transparan dan berisi butir minyakberwarna emas. telur ini belum masak benar dan garis tengahnya 0.7-1.0mm









7. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Lencam (Lethrinus harak)
TKG I: butir-butir telur berukuran kecil, diameter berkisar antara 1.85mikron-4.50 mikron, dinding sel tipis, ditengah-tengah butir telur terlihat sebuah anak inti (nukleolus) dan di dalam anak inti itu terdapat pula sebuah nucleolus

TKG II: butir-butir telur pada tingkat ini mempunyai ukuran diameter berkisar antara 2.42 mikron-5,29 mikron, dinding sel tipis, di dalamnya terdapat sebuah nucleusdan di dalam nucleus itu terdapat nucleoli letaknya tersebar

TKG III: pada tingkatan ini butir telur terlihat lebih besar, ukuran diameternya berkisar antara 4.45 mikron-18.87 mikron, dinding butir telur menebal, nucleus membesar dan nucleolus terletak pada dinding nucleus

TKG IV: pada tingkatan ini, diameter telur berkisar antara 13.77 mikron-25 mikron, dinding sel terlihat dua lapis, dinding nucleus memudar dan di dalam sitoplasma terlihat “yolk vesicle”

TKG V: pada tingkatan ini, diameter telur berkisar antara 20.54 mikron-32.50 mikron, dinding sel telur terdiri dua lapis dan dinding nucleus memudar atau tidak terlihat dan pada bagian sitoplasma terisi penuh oleh “yolk vesicle”

8. Tabel. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Abalone (Haliotis squamata)

Tabel . Tingkat kematangan gonad ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi Bleeker) .
TKG PENJELASAN
I Perkembangan gonad menutupi sedikit bagian hepatopankreas dan gonad mulai tampak berwarna hijau
II Perkembangan gonad hepatopankreas dan gonad mulai tampak berwarna hijau
III Perkembangan gonad tampak akhir bagian hepatopankreas berwarna hijau





9. Tingkat Kematangan Gonad Kerang Lola (Trochus niloticus linn)

Menurut pradina dan dwiono (1994) proses perkembangan gonad Lola (Trochus niloticus linn) di golongkan menjadi empat tahap perkembangan yaitu:
TKG I: Proliferasi, gonad hanya memiliki ovum dalam jumlah sedikit, dari tingkat kepadatan rendah hingga tinggi
TKG II: perkembangan awal, diameter ovum meningkat dan beberapa oosit sudah diselimuti dengan lapisan jeli (selaput yang berlubang) disekelilingnya. lapisan jeli tersebut bisa jadi indikator kematangan ovum. tahap ini di dominasi oleh ovum muda dan berdiameter kecil
TKG III: perkembangan lanjut, pada tahap ini di tandai dengan semakin banyaknya ovum yang di selimuti dengan lapisan jeli pada bagian luarnya
TKG IV: matang gonad, ovum matang di dominasi ovarium, pada tahap ini kadang di jumpai ovum yang berdiameter kecil

10. Tabel. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Lencam Betina (Letrinus harak)
TKG PENJELASAN
I Ovari seperti benang, panjang sampai kedpan rongga, wajah jernih dan permukaan licin
II Ukuran ovari lebih besar, pewarnaan lebih gelap kekuning-kuningan, telur belum terlihat jelas oleh mata
III Ovari berwarna kuning, secara mofologi telur mulai kelihatan butirannya dengan mata
IV Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan butiran minyak tidak tampak mengisi ½- 2/3 rongga perut,usus terdesak.
V Usus terdesak, ovari berkerut, dinding tebal, butiran telur sisa terdapat di dekat pelepasan, banyak telur pada tingkat II.

11. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Baronang (Siganus canalicalatus)
TGK I : Ovari seperti benang, panjang sampai kedpan rongga, wajah jernih dan permukaan licin
TKG II: Ukuran ovari lebih besar, pewarnaan lebih gelap kekuning-kuningan, telur belum terlihat jelas oleh mata
TKG III: Ovari berwarna kuning, secara mofologi telur mulai kelihatan butirannya dengan mata
TKG IV: Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan butiran minyak tidak tampak mengisi ½- 2/3 rongga perut,usus terdesak.
TKG V: Usus terdesak, ovari berkerut, dinding tebal, butiran telur sisa terdapat di dekat pelepasan, banyak telur pada tingkat II.
12. Tabel. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus)
TKG PENJELASAN
I.belum matang Bentuk sepasang filament seperti sari susu yang tipis yang terletak kepunggung pada sisi lain dari saluran makanan dan salurannya di tutupi oleh peritoneal tipis
II.pematangan Ukuran ovari bertambah dan mulai meluas ke sekitarnya baik secara lateral, maupun anteroposterior, hampir memenuhi bagian punggung dan dada, secara bersamaan warnanya juga berubah dari putih susu manjadi kuning keemasan, oositnya berkembang dengan baik
III.matang Ovari yang masak terbungkus penuh dengan oosit yang telah masak, berwarna merah muda, bila karapas di buka ternyata seluruh daerah dada hanya berisiovari
IV.memijah Ovari memicut menjadi sepasang filament warna merah muda pucat. filament ini pada beberapa tempat berisi oosit yang masak tapi tidak di keluarkan pada waktu pemijahan.

13. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Belut.
I. Testis seperti benang lebih pendek dan terlihat ujungnya dirongga tubuh, serta berwarna jernih.
II. Ukuran testis lebih besar, pewarna putih seperti susu, bentuk lebih jelas dari tingkat I
III. Permukaan testis tampak bergerigi, warna makin putih, testis makin besar, dalam kedaan diawetkan mudah putus.
IV. Seperti pada tingkat III tetapi lebih jelas testid pejut
V. Testis bagian belakang kepis dan bagian belakang masih berisi.

14. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Bulu Babi
Gonad bulubabi sebagai organ reproduksi merupakan timbunan protein berkualitas tinggi yang kaya akan asam amino yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Dari hasil analisa kualitatif gonad bulu babi Diadema sitosum diketahui bahwa dalam gonad tersebut ditemukan lima asam amino esensial bagi orang dewasa yaitu lisin, metionin, fenilalanin, theronin dan valin dua asam amino esensial bagi anak-anak yaitu arginin dan histidin, juga ditemukan asam amino esensial lain yaitu asam aspartat, asam glutamate, glisin, serin (Ismail et al 1981 dalam Darsono 1982 diacu dari Ratna 2002). Beberapa jenis asam amino yang terkandung dalam gonad bulu babi sangat berperan dalam karakterisasi rasa spesifik gonad bulu babi (Fuke dalam Shahidi dan Botta). Jenis-jenis asam amino tersebut adalah glisin, valin, alanin, methionin dan asam glutamate. Selain itu pula nukleotida dari jenis IMP (Inosin Mono Phosphat) dan GMP (Guanosin Mono Phosphat) juga ikut mempengaruhi karakterisasi rasa gonad bulu babi, terutama dalam pembentukan rasa “umami”, yaitu rasa khas seperti golongan daging
Tabel. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Bulu Babi (Echinotrix alamaris
TKG PENJELASAN
I.Fase netral Gonad sedang dalam awal perkembangannya atau istirahat. folikel penuh dengan sel-sel nutritive phagocyte dan pada dinding folikel terdapat lapisan germinal epitel yang tipis
II.Fase tumbuh Umumnya sel-sel nutritive phagocyte masih memenuhi rongga folikel
III.Fase premature Lumen masih kecil
IV.Fase mature Lumen telah berkembang

15. Tabel. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Endemik Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger).
TKG Ovari Testis
I.Belum
berkembang Ovari belum matang didominasi oleh oosit stadia I berukuran 260–610 µm yang bersifat sangat basofil. Inti berbentuk bulat
atau oval. Sitoplasma lebih tebal, terdapat beberapa nukleolus. Testis didominasi oleh jaringan ikat,
terdapat lobus berbentuk lonjong yang berisi spermatogonia I dan II. Sel
spermatogonium berwarna merah muda.
II. Perkernbangan
awal Ovari dipenuhi oosit bernukleus
besar (oosit stadia I & II), terdapat vakuola pada perifer. Oosit berukuran 410-850 µm. Oosit yang belum matang sitoplasmanya berwarna ungu, sedangkan yang sudah matang berwarna merah muda. Testis telah berkembang, jaringan
ikat semakin sedikit. Lobus didominasi oleh spermatogonia stadia II, terdapat beberapa spermatogonia I dan spermatosit primer.
III. Sedang
berkembang Oosit berukuran 550–1.090 µm.
Oosit stadia III (ootid) bergranula kuning telur dimulai dari daerah inti kemudian menyebar ketengah dan terdesak ketepi. Sitoplasma didominasi globula lipoprotein. Spermatosit primer ber-kembang
menjadi spermatosit sekunder. Lobus berisi sel-sel spermatosit primer dan sekunder. Sebagian spermatosit sekunder berkembang menjadi spermatid.
IV. Matang Oosit berukuran 800–1.790 µm.
Oosit stadia IV (ovum) adalah oossit tertua yang ditandai dengan berakhirnya pembentukan kuning telur. Oosit dengan sitoplasma yang berisi vakuola-vakuola
lipoprotein berukuran besar. Oosit ini siap diovulasikan. Disamping oosit stadia IV terdapat pula oosit stadia I, II dan III. Spermatid berkembang menjadi
spermatozoa. Lobus penuh dengan
spermatid dan spermatozoa.
V. Pasca pemijahan Bentuk oosit berbeda dengan oosit
stadia IV. Dinding folikel berkerut-kerut. Jumlah oosit stadia IV sedikit, didominasi oleh oosit stadia I, II, dan III. Sebagian
daerah ovari kosong. Secara umum TKG V ini hampir
sama dengan TKG IV, spermatogonium
sudah terlihat lagi, lobus mengkerut.




16. Tabel. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Udang Putih
TKG PENJELASAN
I Garis ovarium kelihatan berwarna hijau kehitaman, kemudian volumenya bertambah besar. pada akhir stadia I, garis ini sudah sangat jelas dan terlihat membentuk segi 6 dengan sudut yang menghadap ke arah rostrum, runcing memanjang pada bagian dorsal cephalothorax
II Warna dan bentuk ovarium semakin jelas dan tebal. pada akhir stadia II ini warna ovarium tampak kuning dan bentuknya semakin lebar ke arah belakang rostrum
III Warna ovarium berubah menjadi kuning tua dan volumenya berkembang ke arah samping cephalothorax. Pada akhir stadia II ini warna ovarium berubah menjadi orange dan organ eksernalnya yaitu thelikum dan spermatheca smakin berkembang sebagai tanda udang telah siap kawin
IV Setelah semua telur teerovulasimaka warna dan bentuk gonad dapat dibedakan dari stadia 3 yaitu warnanya semakin hijau pucat dan volumenya semakin mengecil dengan ditandai adanya garis putus-putus. tanda ini dalam 2 hari akan hilang







17. Tabel. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Nila
TKG PENJELASAN
I Bentuk ovarium kecil, warnanya putih transparan, oogonium dan oosit muda hanya dapat terlihat dengan menggunakan mikroskop
II Ovarium kecil dan berwarna kuning terang, oosit dapat terlihat dengan mata telanjang. pengamatan secara hstologi memperlihatkan ovarium terdiri oogonia dan oosit mudanamun belum terbentuk kuning telur
III Ovarium mulai membesar, berwarna kuning gelap dan terdapat oosit yang mulai mengandung kuning telur
IV Ovarium besar, berwarna coklat, secara makroskopis oosit mudah dibedakan dan dipisahkan
V Ovarium berwarna kuning terang, ukurannya menjadi berkurang karena telah dilepaskannya oosit yang matang. ovarium berisi oogonia, oosit muda dan beberapa oosit menguning telur serta banyak dijumpai folikel yang pecah











18. Tabel. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Kembung
TKG BETINA JANTAN
I Ovari berbentuk seperti benang dengan warna jernih samapai ke depan rongga tubuh Testes berbentuk seperti benang dengan pendek dengan warna jernih
II Gonad sudah mulai berbentuk bulat panjang, butiran telurnya masih berwarna transparan dan melekat satu sama lain serta tidak terlihat jelas dengan mata telanjang Warna testis putih transparan berbentuk panjang
III Ovarinya berwarna kuning dan sudah kelihatan butiran-butiran telurnya yang berwarna kuning serta sudah dapat di pisahkan satu sama lain Testis lebih putih dan ukurannya lebih besar dari TKG II
IV Tidak ditemukan Tidak ditemukan
V Ovarinya terlihat kosong dan mengempis atau berkerut, pada saluran pelepasan terdapat sedikit sisa butiran telur Pada bagian belakang testis sudah mengempis dan di bagian dekat pelepasan masih berisi





19. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Kepe-kepe Zebra (Caetodon octofasciatus)
Klasifikasi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Kepe-kepe Zebra (Caetodon octofasciatus) menurut effendi (1997) adalah sebagai berikut:
TGK I : Ovari seperti benang, panjang sampai kedpan rongga, wajah jernih dan permukaan licin
TKG II: Ukuran ovari lebih besar, pewarnaan lebih gelap kekuning-kuningan, telur belum terlihat jelas oleh mata
TKG III: Ovari berwarna kuning, secara mofologi telur mulai kelihatan butirannya dengan mata
TKG IV: Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan butiran minyak tidak tampak mengisi ½- 2/3 rongga perut,usus terdesak.
TKG V: Usus terdesak, ovari berkerut, dinding tebal, butiran telur sisa terdapat di dekat pelepasan, banyak telur pada tingkat II.
20. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Betutu
TKG I Dan TKG II adalah lebih kecil dari 20%. hal ini menunjukkan ikan betutu betina dapat memijah berkali-kali dalam setahun. kesimpulan mengenai resio jenis kelamin menunjukkan perbandingan ikan betutu jantan dan betina menurut Uji Chi Kuadrat adalah 1:1 pada tarafnya 5%. mengenai kepadatan populasi ikan pada waktu perjalanan menunjukkan bahwa ikan betutu mempunyai kepadatan yang jauh lebih kecil di bandingkan ikan Sapu Kaca, di duga Ikan Sapu Kaca inilah yang memakan larva maupun juvenil muda ikan betutu disamping faktor-faktor lain yang tidak menunjang pada lingkungan ikan ini sehingga dapat mempengaruhi perkembangan ikan betutu tersebut. mengenai curah hujan dan suhu udara menunjukkan bahwa pada bulan-bulan mempunyai curah hujan yang tinggi akan menyebabkan bertambahnya jumlah benih ikan betutu serta bertambah banyaknya jumlah danpotensi/kualitas telur karena bertambahnya jumlah makanan, DO bertambah suhu menjadi turun da pH netral.

21. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Bilis
TKG dari ikan bilis dimana sebagian besar masih belum melakukan pemijahan. pola pertumbuhan ikan bilis mengikuti pola allometrik dengan nilai b=3.43, dimanan pertambahan panjang tidak secepat dengan pertambahan beratnya. Dengan memasukkan nilai panjang total optimim ikan bilis dari hasil perhitungan ke persamaan pola pertumbuhan maka di peroleh nilai dugaan bobot ikan antara 61.82gr-107.51gr. Alat tangkap jaring koncong dengan mata jaring antara 1.22 inchi-1.42 inchi ini diharapkan menjadi alat tangkap yang berwawasan lingkungan dan bisa di aplikasikan di lapangan oleh para pengguna. Demikian pula dengan ikan ukuran antara 195.9mm-230.2mm dengan berat 61.82gr-107.51gr merupakan ikan yang menjadi pilihan bagi keperluan industri perikanan. Kiranya perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang hal ini guna mengetahui berapa besarnya ukuran mata jaring yang paling optimum dengan menggunakan beberapa jenis ikan hasil tangkapan utama dari jaring koncong
22. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Pisang-pisang Merah (Caesio chrysozoma)
TGK I : Ovari seperti benang, panjang sampai kedpan rongga, wajah jernih dan permukaan licin
TKG II: Ukuran ovari lebih besar, pewarnaan lebih gelap kekuning-kuningan, telur belum terlihat jelas oleh mata
TKG III: Ovari berwarna kuning, secara mofologi telur mulai kelihatan butirannya dengan mata
TKG IV: Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan butiran minyak tidak tampak mengisi ½- 2/3 rongga perut,usus terdesak.
TKG V: Usus terdesak, ovari berkerut, dinding tebal, butiran telur sisa terdapat di dekat pelepasan, banyak telur pada tingkat II.

23. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Tongkol
TKG Ikan Tongkol metode cassie modifikasi dari effendi (1997) adalah sebagai berikut:
TGK I : Ovari seperti benang, panjang sampai kedpan rongga, wajah jernih dan permukaan licin
TKG II: Ukuran ovari lebih besar, pewarnaan lebih gelap kekuning-kuningan, telur belum terlihat jelas oleh mata
TKG III: Ovari berwarna kuning, secara mofologi telur mulai kelihatan butirannya dengan mata
TKG IV: Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan butiran minyak tidak tampak mengisi ½- 2/3 rongga perut,usus terdesak.
TKG V: Usus terdesak, ovari berkerut, dinding tebal, butiran telur sisa terdapat di dekat pelepasan, banyak telur pada tingkat II.
24. Tingkat Kematangan Gonad Kerang.
1. Tahap tidak aktif ; kondisi gonad mengecil, bening dan transparan
2. Tahap pematangan; warna gonad transparan dan hanya terdapat isi testis/ telur pada bagian tertentu.
3. Tahap matang (mature); (betina) gonad berwarna kuning bersih dan (jantan) gonad berwarnah putih susu, gonad tersebar merata hamper diseluruh jaringan
4. Tahap matang penuh ; (betina) gonad berwarna kuning dan (jantan) berwarna agak putih keruh kekuningan, seluruh permukaan organ bagian dalam tertutup oleh gonad, kecuali bagian kaki.


25. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Mujair (Oreocromis mozambica)
Klasifikasi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Mujair (Oreocromis mozambica) menurut effendi (1997) adalah sebagai berikut:
TGK I : Ovari seperti benang, panjang sampai kedpan rongga, wajah jernih dan permukaan licin
TKG II: Ukuran ovari lebih besar, pewarnaan lebih gelap kekuning-kuningan, telur belum terlihat jelas oleh mata
TKG III: Ovari berwarna kuning, secara mofologi telur mulai kelihatan butirannya dengan mata
TKG IV: Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan butiran minyak tidak tampak mengisi ½- 2/3 rongga perut,usus terdesak.
TKG V: Usus terdesak, ovari berkerut, dinding tebal, butiran telur sisa terdapat di dekat pelepasan, banyak telur pada tingkat II.
26. Tingkat Kematangan Gonad IKan Bandeng.
1. Hormon dari luar dapat dilibatkan dalam proses metabolisme yang berkaitan dengan kegiatan reproduksi dengan cara penyuntikan dan implantasi menggunakan implanter khuusus. Jenis hormon yang lazim digunakan untuk mangacu pematangan gonad dan pemijahan banding LHRH-a, 17 alpha methiltestosteron dan HCG.
2. Implantasi pellet hormone dilakukan setiap bulan pada pagi hari saat pemantauan perkembangan gonad induk jantan maupun betina dilakukan LHRH-an dan 17 alpha methiltestosteron masing-masing dengan dosis 100-200 mikron per ekor (berat induk 3,5 sampai 7 kg).

27. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Baung.
Kematangan gonad ikan baung dimulai apabila telah mencapai 215 mm dengan bobot 90g (Tang et al., 1999). Secara garis besar perkembangan gonad ikan dapat dibagi mejadi dewasa kelamin dan selanjutnya adalah pematangan gamet. Tahap pertama berlangsung mulai ikan menetas hingga mencapai dewasa kelamin, dan tahap kedua dimulai setelah ikan mencapai dewasa, dan terus berkembang selama fungsi reproduksi masih tetap berjalan normal (Largler et al 1977) lebih lanjut dikatakan bahwa kematangan gonad pada ikan tertentu dipengaruhi oleh faktor yaitu faktor dalam dan luar. Faktor luar antara lain dipengaruhi oleh suhu dan adanya lawan jenis, faktor dalam antara lain perbedaab spesies, umur serta sifat-sifat fisiologi lainnya. Ikan baung tergolong ikan bertulang sejati (teleostei). Ikan teleostei biasanya mempunyai sepasang ovarium yang merupakan organ memanjang dan kompak, terdapat di dalam ronggga perut, berisi oogonium, oosit dengan sel-sel folikel yang mengitarinya, jaringan penunjang atau stroma, jaringan pembuluh daerah dan saraf (Naghama, 1983)
28. Tingkat Kematangan Gonad Cumi-Cumi (Sudjoko, 1989)
I. Darah (immature)
II. Darah kembang (developing)
III. Mulai matang (maturing)
IV. Matang (mature)
V. Salin (spent)




29. Tingkat Kematangan Gonad Keli Betina (Claris batarachus)
1. TKG1 (belum matang) Gonad kecil dan memanjang 10-15 mm, lutsinar dan butir-butir telur belum terbentuk. Jika sudah terbentuktelurtersebut masih berwarna lutsinar.
2. TKG 2 (mulai matang) Gonad semakin membesar dan berwarna kuning keperngan. Butir-butir telur memenuhi setengah dari pada ruang perut dan mulai kelihatan dan panjangnya diantara 15-20 mm.
3. (matang) Gonag lebih besar, panjang 20-30 mm, berwarna kuning keperangan., Butir-butir telur memnuhi setengah dari pada ruang perut dan mula memberi tekanan terhadap alat pencernaan ke bahagian dorsal (punggung).
4. TKG 4 (sangat matang) Gonad besar denga panjang 30-50 mm, berwarna kuning keperangan dan memenuhi dua pertiga ruang perut.

30. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) pada ikan belanak sebagai berikut:
Analisis data meliputi distribusi ukuran panjang dan berat, rasio jenis kelamin, distribusi tingkat kematangan gonade, fekunditas dan hubungan antara panjang total dengan fekunditas. jenis kelamin jantan dngan rasio 1 : 0,73. Terdapat variasi tingkat kematangan gonade belanak betina namun demikian sebagian besar berada pada TKG I (35,42%) dan TKG IV (31,25%), fekunditas berkisar antara 289.812-892.498 butir dengan rata-rata 507497 butir. hubungan panjang total dengan fekunditas belanak berkolerasi positif mengikuti persamaan F = 92,62 L 1,8651 (r=0,54).





31. Tingkat Kematangan Gonad IKan Mas (Cyprinus carpio L).
A. Jantan
Belia = Tempat air mani benang seperti cuka, tidak berwarna, keabuan (keadaan pada ikan yang belum dewasa ).
Belia Berkembang = Tempat air mani keruh, tembus cahaya, kemerahan, kaya akan pembluh darah.
Perkembangan I = Tempat mani tidak tembus cahaya, kemerahan, kaya akan pembuluh darah.
Perkembangan II = Tempat mani putih hingga putih kemerahan dan berlangsung puncak proses pembentukan mani.
Berentang = Tempat mani tidak tembus cahaya, jika ditekan akan keluar testes yang liat, dan air mani telah sempurna
Matang siap mijah = Tempat air mani tridak tembus cahaya, berwarna putih, jika ditekan mengalir seperti susu, terjadi puncak tingkatan masak air mani.
Setengah Terpijah = Tempat air mani tidak tembus cahaya, warnanya sedikit kemerahan, klau ditekan air maninya akan keluar.
B. Betina.
Darah = Ovarium sangat kecil dan terletak di bawah tulang punggung, tidak berwarna sampai abu-abu dan transparan, butir-butir telur tidak terlihat dengan mata biasa.
Dara berkembang = Ovarium jernih sampai abu-abu kemerahan, butir telur dapat terlihat menggunakan kaca pembesar.
Perkembangan I = Ovarium berbentuk bulat telur, warnah kecerahan, butir-butir mirip serbuk putih.
Perkembangan II = Ovarium berwarna orange kemerahan
Bunting = Ovarium mengisi penuh ruang rongga bawah, telur bulat jernih.
Mijah = Teluar keluar jika ditekan perutnya, kebanyakan telur jernih.
Mijah salin = Ovarium belum kosong sama sekali
Salin = Ovarium kosong dan berwarna kemerahan.
Pulih salin = Ovarium jernih sampai abu-abu kemerahan.
Sumber ; Ardiwinata 1981 dan Sumantadiniata K., 1983.
32. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Kerapu Kertang
Induk Kerapu Kertang yang mulai memijah berukuran antara 23-50kg/ekor, untuk mempercepat kematangan gonatd, induk berikan hormon LHRHa secara implant dengan dosis 10-20 µm/kg berat badan/2 bulan sekali. kematangan kelamin induk kerapu kertang dapat diketahui dengan cara mengurut bagian perut ikan (striping). Sperma ikan siap pijah berwarna putih susu da kental. Kematanagan induk betina diketahui dengan cara kanulasi, yaitu memasukkan selang plastik kedalam lubang kelamin ikan kemudian dihisap. Telur ikan yang siap dipijah berdiameter >450 mikron. Telur yang dibuahi akan mengapung dipermukaan air dan berwarna transparan, dengan diameter 800-900 mikron. Telur akan menetas dalam waktu 16-18 jam setelah pembuahan pada suhu 28-30C dan 30-32ppt.


33. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Pada Ikan Kerapu Macan Sebagai Berikut :
Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan salah satu jenis ikan kerapu yang bernilai ekonomis penting di Indonesia yang aspek-aspek biologinya belum banyak dikaji. penelitian ini mengkaji beberapa aspek biologi dan Epinephelus fuscoguttatus di Perairan Kepulauan Spermonde yang meliputi kebiasaan makan yang ditentukan dengan mengunakan indeks relatif penting (IRP), fekunditas dengan menggunakan gabungan metode gravimetrik dan volumetrik serta penentuan tingkat kematangan gonad dengan analisa secara deskriptif. penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar akan pengelolaan dan eksplorasi ikan tersebut untuk selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan kerapu bersifat karnivora dengan jenis-jenis makanannya terdiri dari ikan, udang dan cumi-cumi, dimana ikan sebgai makanan utama. Kisaran fekunditasnya adalah 115.449-992.527 butir telur. Berdasarkan tingkat kematangan gonadnya ditemukan 100% ikan kerapu macan jantan berada pada TKG I, sedangkan ikan kerapu macan betina 50% berada pada TKG I, 1,41% pada TKG II dan 9% pada TKG III.
34. Hasil Pengamatan Terhadap Perkembangan Gonad Ikan Tambra (Tor tambroides)
Hasil pengamatan TKG baik jantan maupun betina diketahui baru pada tingkatan III dan IV. Hal ini menujukkan bahwa ikan tersebut belum sepenuhnya memasuki musim pemijahan. Padahal saat penelitian sudah memasuki awal musim hujan, saat kebanyakan jenis kan udah mempersiapkan pemijahan yang ditandai oleh masaknya organ reproduksi. Menuut Effendie (1979) tingkat kematangan gonad dikelompokkan menjadi tujuh, ikan yang siap memijah berada pada TKG IV dan V.


35. Tingkat Kematangan Gonad Bulu Babi (Tripnetus gratilla)
I. Fase 0 ( periode belum matang) : gonad dari bulu babi yang berkelamin jantan dan betina bentuknya seperti pita, warnanya putih seperti susu. Dalam gonad tersebut berisi butir-butir telur yang belum matang.
II. Fase I (periode pemulihan) : gonad berwarna coklat tua dan berukuran kecil pada fase ini. Lobus gonad masih menyusut dan di dalam gonad terdapat sisa-sisa telur atau sperma.
III. Fase III (periode perkembangan) : Lobus gonad sudah mulai mengembang, lobus telah berisi granula tetapi beberapa sisa telur dan sperma masih terdapat di bagian tengah dari gonad.
IV. Fase III (periode perkembangan) : pada lapisan granula butir-butir telur pada lobus gonad berkurang dan oocytes dibentuk, kemudian mulai terpisah dari dinding gonad dan terpusat pada daerah tersebut. Spermatogonium dan spermatocytes terbentuk dan sperma terakumulasi kebagian tengah dari lobus gonad.
V. FaseIV (periode matang/masak) : Gonad sudah mengembang sampai pada ukuran maksimum. Warna gonad pada bulu babi betina berwarna orange muda dan jantan berwarna krem kekuning-kuningan. Pada lobus gonad dipenuhi dengan sel-sel telur dan sperma matang, dinding lobus mulai menipis, telur-telur yang belum matang dan ganula telah hilang.
VI. Fase V (periode pemijahan) gonad mulai menyusus dan warna gonad antara jantan dan betina berubah menjdi coklat tua. Lobus gonad menyusut dan sudah mulai muncul celah-celah dibagian dalamnya. Sisasisa telur yang ada padas setiap lobus gonad hamper sama.
Sumber : Shimabokuro, 19991.


36. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Kerapu Lumpur.
I. Ovary tidak matang, didapatkan oocyt tingkat 1 dan 2. Bila tidak terdapat jaringan yang mengkerut menunjukan belum pernah terjadi pemijahan.
II. Betina dengan ovari matang beristrahat, terdapat oocyt tingkat 1,2 dan 3 mungkin terdapat jaringan yang mengkerut sisa pemijahan dulu.
III. Betina matang aktif, kebanyakan oocyt tingkat 3 dan 4 secara morfologi ovary berkembang mudah dikenal.
IV. Betina pasca pemijahan.
V. Transisi sukar dikenal. Dari luar gonad terlihat mengkerut dan didalamnya kosong. Jaringan mengkerut banyak didapatkan dibagian tengah.
VI. Testis tidak matang, hamper sama dengan kelas sebelumnya banyak didapatkan kerutan.
VII. Testis menuju masak, didapatkan kelompok kantung spermatobonia, spermatocyt 1 dan 2.
VIII. Testis masak, banyak spermatocyt 1 dan 2, didapatkan pula sperma di dalam kantung.
IX. Testis masak sekali. Banyak didapatkan spermatozoa di dalam kantung spermatocyt tingkat awal sangat jarang.
X. Testid pasca pemijahan., Kantung sperma umumnya kosong.
Sumber : Tan dan Tan (1974).





37. Tingkat Kematangan Gonad Jantan (testes) Ikan Green Sinfish
1. Testes regresi (akhir musim panas sampai pertengahan musim dingin). Dinding gonad m
2. Perkembangan Spermatogina. Sama dengan TKG 1, hanya proporsi spermatogina sekunder bertambah. Seperma sisa kadang-kadang masih terlihat.
3. Awal aktif spermatogenesis. Cyste spermatocit timbul dan kemudian semakin bertambah. Cyste spermatocid dan spermatozoa juga mulai keluar.
4. Spermatogenesis aktif. Semua tingkat spermatosis ada dalam jumlah yang banyak. Spermatozoa bebas mulai terlihat dalam rongga seminifereus.
5. Testes masak. Lumen penuh dengan spermatozoa. Pada dinding lobule penuh dengan cyste bermacam-macam tingkat.
6. Testes regresi. Rongga seminifereus masih berisi spermatozoa. Dinding lobule penuh dengan spermatogonia yang tidak aktif. Ukuran testes mengkerut karena sperma dikeluarkan.
38. TKG IKAN LARGE MOUTH BASS
Ikan Large Mouth Bass, yang hidup dibagian selatan Amerika Serikat matang gonadnya pada umur satu (1) tahun dengan berat 180 gram. Ikan yang hidup di bagian utara Amerika Serikat pada umur satu tahun dengan ukuran panjang 25 cm berat 230 gram, gonadnya (telur dan sperma) belum matang.




39. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Cobia
Ikan cobia (Rachycentron canadum) merupakan ikan ekonomis penting di Asia dan mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat, dapat mencapai ukuran berat 15 kg pada mur 20 blan. Kendala budidaya ikan ini adalah benihnya yang masih impor. Pengamatan beberapa aspek biologi telh dilakukan pada ikan cobia hasil tangkapan di Teluk Pegametan, Bali Utara, yang bertujuan untuk data dasar dalam upaya pembenihannya. Indeks ematangan gonad tertinggi pada betina adalah 1,23% dengan diameter telur dalam gonad (oocyt) 400 µm pada ukuran PT 95 cm dan BT 10,5 kg, sedangkan pada jantan 0,43% pada PT 58 dan BT 2,3 kg. Ikan cobia ini merupakan ikan pelagic dengan gerakan sangat aktif, dapat berubah warna dimana pada keadaan normal dan stress berwarna hitam dengan dua garis putih pada samping badan membujur dari leher sampai ke pangkalekor, sedangkan bila ditempatkan pada wadah yang berwarna terang maka wrna kulitnya akan berubah keabu-abuan.
40. TKG PADA IKAN MADIDIHANG (Thunus albacares)
I. Perkembangan awal:
Ovarium berisi telur primitif yang transparan atau telur ada dalam tingkatan awal perkembangan. Pengendapan butir kuning telur tidak jelas
II. Perkembangan akhir:
Diantara 0,4-0,8 mm.
III. Lanjut:
Ovarium mendekati tingakat masuk. Telur semi transparan dan berisi butir minyak berwarna emas. Telur belum masak benar dan garis tengahnya 0,7-1,0 mm.
Sumber : (Bonnaterre, 1988)
41. Tingkat Kematangan Gonat Ikan Otolithus Ruber dan Jhonius Dussumieri Menurut Devados (1969)
1. Tidak masak. Ovari berwarna pucat keruh, memanjang sampai sepertiga panjang rongga perut. Telur tidak dapat dilihat oleh mata telanjang. keadaan telur kecil, tidak ada kuning telur, transparan dengan inti yang jelas.
2. Tidak masak. Ovarium berwarna merah anggur, mengisi 1/3 -1/2 rongga perut. gonad tidak simetri, telur tidak dapt dilihat oleh mata telanjang. Pembentukan kuning telur baru disekitar inti.
3. Hampir masak. ovarium berwarna merah jambu sampai kuning, berbutir-butir, memanjang sampai ½ - 2/3 dalam rongga perut.keadaan telur kecil, warna tidak terang, inti sebagian atau seluruhnya terbenam dalam kuning telur.
4. hampir masak. ovarium berwarna putih susu sampai kuning,pembuluh darah terlihat dibagian atasnya, memanjang sampai 2/3 bagian dari rongga perut, telur mudah terlihat. ukuran telur sedang dengan warna tidak terang, belum bebas dari sel-sel folikel.
5. masakovarium berwarna kuning kemerah-merahan, pembuluh darah jelas, panjangnya sampai 3/4 – 4/5 rongga perut. telur jelas terlihat. telur berukuran relatif besar dan warna folikel tidak terang, bebas dari folikel.
6. masak betul. ovarium kemerah-merahan seperti kue puding, mengisi seluruh rongga perut, telur terlihat dari dinding ovarium. ukuran telur relatif besar, transparan, kuning telur berisi gelembung minyak
7. salin.ovarium mengkerut sebagai hasil pemiahan.






42. Tingkat kematangan Gonad Ikan Uhlia sandvicensis Menurut Tester dan Takata (1953)
1. Tidak masak. Gonad sangat kecil seperti benang dan transparan. Penampang gonad pada ikan jantan pipih dengan warna kelabu, pada ikan betina bulat dengan warna kemerah-merahan.
2. Permulaan masak. Gonad mengisi ¼ rongga tubuh. warnanya pada ikan jantan kelabu atau putih, bentukya pipih. Sedangkan pada ikan betina warnanya kemerah-merahan atau kuning dan bentuknya bulat. telur tidak tampak.
3. Hampir masak. Gonad mengisi ½ rongga tubuh. gonad ikan jantan berwarna putih. Gonad ikan betina berwarna kuning, bentuk telur tampak melalui dinding ovarium.
4. Masak. Gonad mengisi ¾ rongga tubuh. Gonad ikan jantan berwarna putih berisi cairan berwarna putih. Gonad betina berwarna kuning, hampir bening atau bening. Telur dapat terlihat.
5. Salin. Hampir sama dengan tahap kedua dan sukar dibedakan. Gonad jantan berwarna putih, kadang-kadang dengan bintik cokelat. gonad betina berwarna merah, lembek, dan telur tidak tampak.
43. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Pada Ikan Kakap Merah Sebagai Berikut :
Matang gonad terjadi pada umur 4 tahun dengan panang tubuh 45-60cm. pemijahan terjadi sepanjang tahun, dan mencapai puncaknya antara bulan Juli dan Desember. Induk jantan di alam akan menjaga telur yang sudah dibuahi dala mulutnya hingga 2 bulan ketika larva mulai dapat berenang. Arwana betina mempunyai ovarium tunggal yang mengandung 20-30 ovarium besar dengan diameter rata-rata 1,9cm dengan kematangan berbeda-beda. Induk jantan dewasa juga mempunyai sebuah organ vital menyerupai testis.

44. Tingkat Kematangan Gonad Pada Udang Galah
Alat reproduksi udang galah jantan terdiri dari organ internal yaitu sepasang vasdeferen dan sepasang terminal ampula, dan organ eksternal yaitu petasma yang terletak pada kaki jalan yang ke-5 dan sepasang appendik maskulina yang terletak pada kaki renang ke-2 yang merupakan cabang ke-3 dari kaki renang. Fungsi alat kelamin eksternal udang gala jantan adalah untuk menyalurkan sperma dan meletakkan spermatophora pada alat kelain betina (thelikum), sehingga telur yang akan keluar dari saluran telur (oviduct) ke tempat pengeraman akan dibuahi oleh sperma dari thelikum tadi. Petasma ini merupakan modifikasi bagian endopodit pasangan kaki renang pertama (Sandifer dan Smith, 1979).
Udang galah betina alat reproduksinya terdiri dari organ internal yaitu sepasang ovarium dan sepasang saluran telur dan organ eksternal yaitu thelikum yang terletak diantara kaki jalan ke-3. Pada bagian dalam thelikum terdapat spermatheca yang berfungsi untk menyimpan spermatophora setelah terjadi kopulasi (Sadifer dan Smith, 1979)
Induk udang galah betina mencapai kematangan gonad pada berat tubuh 20 gram, tetapi fekunditas yang baik dicapai pada ukuran 50 gram ke atas atau panjang tubuhnya 1,81-229 mm. Sedangkan induk jantan kematangan gonadnya tidak dapat diketahui secara visual, namun berdasar beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa udang dengan panjang 155 mm dapat melakukan perkawinan (Ling dan Mrica, 1961). Cummings, 1961 dala Nurjana, 1979 membagi perkembangan gonad udang galah menjadi 4 stadia, yaitu :
Stadia I : Garis ovarium kelihatan berwarna hijau kehitaman, keudian volumenya bertambah besar. Pada akhir staia I, garis ini sudah sangat jelas dan terlihat membentuk segi 6 dengan sudut yang menghadap ke arah rostrum, runcing memanjang pada bagian dorsal cephalothorax.
Stadia II : Warna dan bentuk ovarium semakin jelas dan tebal. Pada akhir stadia II ini warna ovarium tampak kuning dan bentknya semakin lebar ke arah belakang rostrum.
Stadia III : Warna ovarium berubah menjadi kuning tua dan volumenya bekembang ke arah samping cepalothorax. Pada akhir stadia III ini warna ovarium berubah menjadi orange dan organ eksternalnya yaitu thelikum dan spermatheca (kantong penyimpan spermtophora) semakin berkembang sebagai tanda udang telah siap kawin.
Stadia IV : Setelah semua telur terovulasi maka warna dan bentuk gonad dapat dibedakan dari stadia III yaitu warnanya semakin hijau pucat dan volumenya semakin mengecil dengan ditandai adanya garis putus-putus. tanda ini aka hilang dalam dua hari.
45. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)
Lobster air tawar terdapat berbagai jenis. jenis yang terkenal adalah red claw. lobster ini dinamakan demikian karena terdapat bercak merah pada capitnya. Yang menarik dari lobster dan berbagai jenis udang-udangan lainnya adalah kemampuan untuk berganti kulit kerangka luar yang disebut proses moulting. Ciri-ciri yang ditunjukkan ketika matang gonad adalah tanda merah pada bagian luar kedua ujung capitnya. tapi warna merah ini tdak berbentuk bila capitnya masih kecil. Umumnya dengan ukuran 3 inch atau 7,5 inch sudah mulai terlihat pada lobster jantan. Yang bisa membuat kepastian adalah dilihat dari kakinya. Kelamin jantan juga terlihat sepasang tonjolan dengan jelas pada kaki yang paling mendekati ekor. Jika hanya satu maka di sebut intersex. Pada kelamin lobster Red claw, tidak ada tanda merah pada kedua capitnya. Tanda kelamin betina ditandai dengan adanya dua bulatan pada kakike tiga baik dihitung dari atas maupun dari ekor. Sama halnya dengan jantan, kelamin betina juga harus sepasang (Lim, 2006).
46. Tabel. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan patin (pangasius hypophthalmus)
Tabel. kriteria perkembagan gonad ikan jambal siam (pangasius hypophthalmus) beoltina secar morfologis dan histologi pada berbagai tingIkat kematangan (Siregar 1999)
TKG MORFOLOG HISTOLOGI
I Ovari kecil dan halus seperti benang,warna ovari merah muda, memanjang dirongga perut. Demonasi oleh oogonia berukuran 7.5-12,5µm,inti sel besar.
II Ukuran ovari bertambah besar, warna coklat muda, butira telur belum terlihat dengan mata telanjang Oogania menjadi oosit ukuran 200-250µm, membentuk kantung ksitoplasma berwana ungu.
III Ukuran ovari relatif besar dan mengisi hampir 1/3 rongga perut, butiran-bitiran telur terlihat jelas dan berwarna kuning muda. Lumen berisi telur. ukuran oosit 750-1125 µm,inti mulai tampak.
IV Gonat mengisi penuh rongga perut, semakin penjal dan warna bitiran telur kuning tua, butiran telur besarnya hampir sama dan mudah dipisahkan, kantung tubulus seminifer agak lunak. ini terlihat jelas dan sebaran kuning telur mendominasi oosit. Ukuran oosit 1300-1500 µm.



47. Tabel. Tingkat kematangan gonad ikan betok jenis (Chrysiptera sp.)
TKG BETINA JANTAN
I Ovari seperti benang panjang kedepan, rongga tubuh,warna jernih dan permukaan licin. Testes seperti benang lebih pendek (terbatas) dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, warnanya jernih.
II Ukuran ovari lebih besar pewarnanya, lebih gelao kekuning-kuningan,telur belum terlihat jelas dengan mata. Ukuran testes lebih besar, pewarnaan putih seperti susu,bentuk lebih jelas.
III Ovarinya berwarna kuning, secara morfologi telur mulai terlihat butirnya oleh mata. Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih, testes makin besar dalam keadaan diam mudah putus.
IV Ovarium makin besar, telur berwarna kuning mudah dipisahkan, mengisi ½-2/3 rongga perut, usus terdesak Seperti pada TKG III tampak lebih jelas, dan testes sama pejal
V Ovari berkerut, dinding tebal butir telur sisa terdapat didekat pelepasan, banyak telur seperti pada TKG II Testes bagian belakang kempis dan dibagian pelepasan masih kempis




48. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Layang (Decapterus ruselli) Selama Penelitian (Sri Wahyuni Saleh : 2002).
TKG BETINA JANTAN
I Ovari berbentuk seperti benang dengan warna jerni sampai kedepan rongga tubuh Testes berbentuk seperti benang pendek dengan warna jernih
II Gonat sudah mulai berbentuk bulat panjang, budan tiran telurnya masih berwarna transparan dan melekat sama lain serta tidak terlihat jelas dengan mata telanjang Warna testes putih transparan berbentuk panjang
III Ovarinya berwarna kuning dan suda kelihatan butiran-butiran telurnya Testes lebih putih dan ukuranya lebih besar dari TKG II
IV Ovarium makin besar, telur berwarna kuning, butiran-butiran telurnya mudah dipisahkan Seperti pada TKG III tapi ukuran testes semakin panjang dan tampak lebih jelas
V Ovarinya terlihat kosong dan menipis/mengkerut. Telur sisa terdapat di dekat pelepasan Testes bagian belakang kempis dan bagian dekat pelepasan masih berisi





49. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Tawes (Puntius javanicus)
TKG BETINA JANTAN
I Ovari seperti benang panjang kedepan rongga tubuh, warna jernih permukaan licin Testes seperti benang, pendek dan terlihat ujungnya dirongga tubuh, warnanya jernih
II Ukuran ovari lebih besar, pewarnaan lebih gelap kekuning-kunigan,telur belum terlihat jelas dengan mata Ukuran testes lebih besar, pewarnaan putih seperti susu dan bentuknya lebih jelas dari padaTKG I
III Ovari berwarna kuning, secara morfologi telur mulai kelihatan butiranya dengan mata Permukaan testes tampak bergerigi, warna putih, testes makin besar dalam keadaan diawet mudah putus
IV Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan, mengisi 12-2/3 rongga perut, usus terdesak Seperti pada TKG III, tampak lebih jelas dan testes semakin jelas
V Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat dipelepas, banyak telur seperti TKG II Testes bagian belakang kempis dan bagian dekat pelepasan masih berisi

50. Tingkat Kematangan Gonad Pada Ikan Ketan Kelapa
Fase bulan TKG jantan TKG Betina
I II III I II III
Baru 20 80 - 40 40 -
Purnama - 66,67 33,33 33,33 55,65 11,11

51. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Injel Kambing (Pomacathus annularis)
Ikan betina yang termasuk dalam TKG I terdapat sebanyak 21 ekor, pada umumnya gonad masih berbentuk seperti benang yang agak tebal dan transparan, dengan garis berwana hitam di sepanjang gonad.sedangkan ikan yang termasuk dalam TKG II terdapat sebanyak 5 ekor, gonad mulai berbentuk bulat panjang, sedangkan telurnya masih berwana transparan tanpa kuning telur, dan hanya dapat dilihat dengan mikroskop serta belum bisa dipisahkan antara satu sama lain atau masi menyatu. Pada umumnya gonad sebeleh kiri berukuran sama besar. Ukuran ovarinya besar dan cukup tebal membungkus butiran telurnya yanng masih melekat satu sama lain. Ikan yang termasuk TKG V, yaitu ikan yang mudah memijah, ditemukan sebanyak 4 ekor. Gonadnya terlihat sudah kosong dan ovarinya mengempis, tetapi pada saluran pelepasanya masih terdapat sisa butiran telur. Ikan jantang yang diperoleh diketahui berada pada TKG II, bentuk testesnya masih seperti benang dan berwarna putih transparan, sedangkan pada TKG III ukuranya lebih besar dan lebih putih.
52. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Mystus (Osteobagrus)
Ikan Mystus (Osteobagrus) air mulai matang gonad pada ukuran panang 840 mm dan semua ikan betina telah matang gonad pada ukuran 940 mm.Ikan baung yang hidup di danau Spin dan danau Kenali mulai matang gonad pada ukuran panjang 205 mm dengan bobot 675 g. Untuk ikan baung betina dan ikan baung jantan mulai matang gonad pada ukuran panjang 215 mm dengan bobot 68,5 g. Djajadiredja et al. (1977) mengemukakan bahwa ikan baung matang gonad pada ukuran panang ± 320 mm.



53. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Nilem
Tingkat kematangan gonad untuk ikan betina :
Tingkat I : Gonad seperti benang, panjang sampai rongga tubuh, warna jernih permukaan licin
Tingkat II : Ukuran gonad lebih besar, warna lebih gelap kekuning-kuningan. Telur belum terlihat jelas dengan mata
Tingkat III: Gonad berwarna putih. secara morfologi telur mulai butiranya dengan mata
Tingkat IV: Gonad makin besar, telur berwarna kuning dan mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi setenga atau dua pertiga rongga perut, usus terdesak
Tingkat V: Ovarium mengkerut, dinding tebal, butir-butir terdapat didekat lubang pelepasan. Banyak telur seperti TKG II

Tingkat kematangan gonad untuk ikan jantan :
Tingkat I : Gonad seperti benang, lebih pendek dan terlihat ujungnya dirongga tubuh. Warna jernih
Tingkat II : Ukuran gonad lebih besar, warna putih seperti susu. Bentuk lebih jelas daripada TKG I
Tingkat III: Permukaan gonad seperti bergerigi, warna putuh, gonad makin besar.
Tingkat IV : Seperti pada Tingkat III, tampak lebih jelas, gonad semakin pejal
Tingkat V : Testis bagian belakang kempis dan bagian pelepasan masih berisi



54. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Tigawaja Otolithes rubber, Block & Schneir (SCIAENIDAE)
Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2002 samapai dengan Mei 2003 yang bertujaun untuk mendapat informasih tentang beberapa aspaek reproduksi yang mencakup nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas dan pola pemijahan sebagai dasar pengolahan perikanan ikan yang bersangkutan. Nisbah kelamin jantang dan betina tidak seimbang (2,21:1), Jumlah ikan yang mencapai tingkat kematangan gonad (III dan IV), pada bulan Maret (26,67% dan 47,35%); pada ikan betina pada bulan Mei (19,38% dan 16,67%). Ikan jantang lebih dulu matang gonad dibandingkan dengan betina. Indeks kematangan gonad pada ikan jantan berkisar antara 0,221% (Februari) dan 0,351% (Mei). Fekunditas pada TKG IIIdan IV berkisar antara 5487-67307 butir pada ukuran panjang 195-267 mm. imdeks kematangan gonad meningkat sebanding dengan tingkat kematangan gonadnya. Berdasarkan modus distribusi diameter telur pada TKG III dan IV mengambarkan bahwa polah pemijahan ikan ini total spawner.
55. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Kuda Laut
Pengeraman kuda laut dapat memijah secara alami dalam bak terkontrol, telur hasil pemijahan akan dierami oleh induk jantan. Setelah terjadi pemijahan, induk jantan dipisahkan atau tetap bersama dengan induk lainnya. Lama pengeraman lebih kurang 10 hari. Sebanikany induk dihindarkan dari hal-hal yang menyebabkan juwana lahir prematur, sehingga tidak dapt hidup bertahan lama. pengeluaran juana umumnya pada malam hari.



56. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Wader (Rasbora argyrotaenia)
Pada penelitian ini diperoleh hasil ikan betina yang tertangkap berukuran lebih besar dari pada jantang. ikan bentina dengan jumlah terbanyak terdapat kisaran berat 3,44-5,79 g yaitu sebesar 34% dan kisaran panjang 7,76-8,6 cm yaitu sebesar 36% sedangkan ikan jantang terbanyak mempunyai kisaran berat 1,1-3,44 g sebesar 36,36% dan kisaran panjang total 4,36-5,2 cm serta 6,91-7,75 cm sebesar masing-masing 21,74%. Nilai faktor kondisi fluktuatif berkisar antara 1,285 sampai dengan 1,935 danuntuk ikan jantan dan ikan betina tampak tidak berbeda jauh. Rasio kelamin secara keseluruhan menunjukkan kondisi yang mendekati ideal yaitu 69:51 (1:0.74) atau 57,5% ikan jantan dan 42,5% ikan betina. Walaupun dilihat dari masing-masing waktu pengambilan sampel maka menunjukkan ketidak seimbangan. Tingkat kematangan gonad sangat berfariasi dalam berbagai tingkat yaitu ikan jantan TKG I, TKG II, TKG III, TKG IV sedangkan TKG III, TKG IV, dan TKG V. Nilai Ikg berkisar antara 3,25% sampai 54,42% dan berdasarkan nilai IG maka ikan-ikan Wader yang diperoleh dari samling III maupun IV telah ada sampai masak gonad karena nilainya diatas 10.
57. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Tripang Pasir
Sampai saat ini belum diketahui cara untuk membebedakan jenis kelamin antara teripang jantan dan betina serta untuk menentukan tingkat kematangan gonadnya. Tanda-tanda mulai terlihat setelah teripang terangsang akan mengeluarkan telur atau sperma. Karena itu seleksi hanya didasarkan pada ciri-ciri fisip sebagai berikut :
• Berukuran berat antara 400-1.000gr/ekor
• Sehat/ tidak berkerut dan keriput
• Tidak luka/ cacat
• Tidak mengeluarkan isi perut
• Cederung aktif
Pemijahan cenderung terjadi pada malam hari antara pukul 18.00-23.00 WIB. Induk terangkat dan bergoyang-goyang sambil mengeluarkan sperma terus-menerus. Pengeluaran sperma ini bisa berlangsung selama satu jam atau lebih tergantung tingkat kematngan gonadnya. Apabila spermanya pekat dipastikan induk jantan akan mengeluarkan sperma dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang lama.
58. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Butini (Glassogobius matanensis)
Salah satu aspek biologis reproduksi adalah tingkat kematngan gionad (TKG) yaitu tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Keterangan tentang TKG ikan diperlukan untuk megetahui perbandingan antara ikan yang berada diperairan, ukuran atau unsur ikan pertama kali matang gonadnya, dan apakah ikan sudah memijah atau belum (Nikolsky, 1963 dan Effendi 1979).
Semakin meningkat TKG ikan, umumnya garis tegak lurus yang ada dalam gonad semakin besar. Dengan kata lain ukuran berat gonad serta garis tengah telur bervariasi dari TKG individu ikan betina (Lagler et al, 1977). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa ikan pertama kali mencapai matang gonad dipengaruhi oleh beberapa faktor luar seperti suhu, arus, adanya individu yang berjenis kelamin yang berbeda dan faktor dalam seperti umur, ukuran dan perbedaan spesies. Hasil sementara yang diperoleh Hutabarata (2003) menyatakan bahwa TKG ikan Glossogobius matanensis presentasi tertinggai pada TKG III dan IV pada ikan jantan terjadi pada bulan Oktober 2002 (22,23%) dan Maret 2003 (28,56%), demikian pulah ikan betina, presentase tertinggi jugab pada bulan Oktober 2002(21,05%) dan Maret 2003 (28%).


59. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Kerapu Sunu
Ikan kerapu sunu merupakan salah satu komoditas ekspor yang diminati oleh masyarakat luar maupun dalam negeri, sehingga penangkapan semakin meningkat. Akibatnya populasi semakin menurun, dan dikhawatirkan populasi akan punah sehingga diupayakan untuk budidaya dan pengelolaan. Tujuan penelitian ini untuk melakukan kajian aspek biologi reproduksi, secara morfologi (makroskopik) dan Histologi (mikroskopik). Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan kerapu sunu diperairan Spermonde, Sulawesi Selatan, secara morfologi (makroskopik) dan Histologi (mikroskopik). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari samapi dengan Juli 2005 di perairan Spermonde, Sulawesi Selatan.
Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dan analisis regresi. Pengamatan Gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas secara gravimetrik, awal matang gonad secara morfologi dan tingkat pemanfaatan berdasarkan petunjuk King. Hasil yang diperoleh secara histologi menujukkan bahwa nisbah kelamin betina, transisi dan jantan adalah 19 :11. Perkembangan gonad secara morfologi (makroskopik) terdiri dari 4 stadia, secara histologi terdiri dari 6 stadia, stadia transisi pada ukuran panjang 48 cm dan satdia jantan pada ukuran panjang 15 cm. Indeks kematangan gonad dengan panjang total 32-65 cm adalah 0,0722-3,1710. Fekunditas diperoleh kisaran 25.681-1.384,801 butir. Diameter telur diperoleh pada kisaran antara 0,042-0,798 mm untuk TKG II dan TKG III. Ukuran rata-rata ikan betina pertama kali matang gonad secara morfologi adalah 47,79 cm dan secara histologi matang gonad pada kuran panjang 40-50 cm. Berdasarkan distribusi diameter telur terlihat 3-4 modus yang menunjukkan bahwa model pemijahan ikan kerap sunu adalah partial spanwner. Hubungan panjang bobot memperlihatkan bahwa pertambahan panjang dan bobot tubuh bersifat isometrik. Faktor kondisi kan kerapu sunu berkisar antara 0,38-3,31. Fluktuasi rata-rata faktor kondisi individu diduga karena pengaruh penurunan bobot tubuh akibat pemijahan parsial. Tingkat pemafaatan ikan kerapu sudah melampaui MSY.









OLEH :
m a k w i n
I1A1 07 074

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2009

konservasi 3

CONTOH KASUS :
SAATNYA KABUPATEN/KOTA MENATA PESISIR
Rabu, 03 September 2008 - oleh : admin | 413 x dibaca
SAATNYA KABUPATEN/KOTA MENATA PESISIR
Laju kerusakan hutan bakau diduga sekitar 200.000 hektar per tahun di berbagai wilayah; terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa (LIPI,2008). Di Jawa sudah hampir habis, namun demikian masih saja terjadi alih fungsi lahan kawasan bakau; terutama untuk pertambakan, permukiman, bahkan kawasan industri. Luasan yang fantastis ini akan merusak kelestarian lingkungan hidup bagi sumberdaya hayati pesisir termasuk biota di dalamnya. Dengan meningkatnya kerusakan tersebut; sementara tahun 1993 luas hutan bakau 2,49 juta hektar; oleh para peneliti LIPI saat ini dinyatakan tinggal 1,2 juta hektar; satu pekerjaan rumah semua pihak guna mengamankan hutan mangrove yang merupakan bagian wilayah pesisir yang rentan kerusakan di negeri ini.
Alih fungsi lahan pesisir
Rokhmin Dahuri yang mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2004 pernah mengatakan pembangunan pesisir di Indonesia berada di persimpangan jalan (at the cross road). Satu sisi menghadapi wilayah pesisir yang padat penduduk, sedangkan sisi lain dinamika pembangunan sedemikian intensif, seperti terjadi di pantai utara Jawa, Bali, pesisir antara Balikpapan dan Bontang di Kalimantan Timur; demikian pula halnya di Sulawesi Selatan. Di wilayah ini kapasitas keberlanjutan dari banyak ekosistem terancam oleh pola pembangunan yang unsustainable development (tidak berkelanjutan) akibat i pencemaran, erosi degradasi fisik habitat pesisir, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, dan juga konflik penggunaan ruang maupun sumber daya.
Kasus alih fungsi hutan mangrove di Banyuasin Sumatera Selatan berubah menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api misalnya; menuai masalah suap beberapa waktu lalu cukup memprihatinkan. Tetapi yang lebih memprihatinkan lagi sebenarnya adalah alih fungsi akan dibarengi perubahan lingkungan/ekosistem mangrove yang kaya sumber daya hayati. Dampak negatif yang kurang diantisipasi oleh pembuat kebijakan, bagaimana alih fungsi menjadi kurang menguntungkan untuk generasi mendatang akibat degradasi kondisi lingkungan yang ujung-ujungnya produktifitas sumber daya hayati menurun? Keadaan seperti ini apa merupakan gejala kepedulian terhadap lingkungan pesisir belum membumi di kalangan pemangku kepentingan? Sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah propinsi/kabupaten/kota mempunyai legalitas tata ruang wilayah yang ditaati semua pihak. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwasanya yang sudah adapun sering “dilanggar” hanya untuk kepentingan sesaat, sehingga banjir pasang laut terjadi dimana-mana akibat pemanfaatan dan penataan pesisir yang tidak rasional.
Disisi lain, secara emperis ada keterkaitan ekologis; hubungan fungsional antar habitat ekosistem pesisir dengan lahan di atasnya maupun laut lepas. Perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir; seperti mangrove misalnya; maka cepat atau lambat mempengaruhi ekosistem lainnya. Demikian pula halnya dengan pengelolaan lahan di atas (daerah aliran sungai/DAS) jika tidak dilakukan secara arif dan berwawasan lingkungan dampak negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir. Secara ekologis-ekonomis pun pemanfaatan kawasan pesisir secara mono culture atau single use sangat rentan terhadap perubahan internal/eksternal yang menjurus kegagalan; karena tidak ada kesimbangan lingkungan. Sebagai contoh misalnya pembangunan tambak udang pantura Jawa sejak tahun 1982 mengonversi hampir semua kawasan pesisir termasuk mangrove menjadi lahan pertambakan, lalu apa yang terjadi ? Tidak lain adalah peledakan wabah Monodon baculo virus (MBV); dan tambak terserang penyakit yang merugikan; alhasil petambak bangkrut sebagai akibat ambisinya menikmati daya dukung alami secara tidak terbatas. Ganjalan lainnya terkait rusak parahnya pesisir timbul ancaman akan kepunahan sejumlah satwa langka. Pantauan para ahli menyatakan bahwasanya kerusakan serius yang terjadi di kawasan lindung pesisir tempat tinggal sejumlah satwa langka, seperti elang laut, babi hutan, biawak, berbagai jenis burung kicau, ikan pesut dll akan mengurangi dan bahkan memusnahkan aset biologi yang bermanfaat bagi manusia.
Salah satu syarat yang secara ekologis menjamin pembangunan berkelanjutan, keharmonisan spasial (spatial sustainability); maka didalam suatu wilayah tidak seluruhnya digunakan untuk zona pemanfaatan; tetapi harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Keberadaan zona preservasi dan konservasi di suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah dan sebagai sumber keanekaragaman hayati (biodiversity). Sesuai kondisi alamiah zona preservasi maupun konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan berkelanjutan sebaiknya antara 30%-50% dari luas total. Kemudian zona pemanfaatan sebaiknya ditetapkan pada lokasi dengan kondisi fisik yang sesuai sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis; tanpa mengganggu keseimbangan lingkungannya.
Ada kasus alih fungsi lahan yang melibatkan sejumlah anggota DPR, lalu muncul persoalan kerusakan ratusan hektar hutan bakau habitat berbagai satwa yang kini sudah tergolong langka seharusnya menjadi pelajaran agar kita tidak menunda-nunda lagi menata pesisir secara konsekuen; “better late than never” dari pada tidak berbuat sama sekali. Kadangkala pembuat kebijakan lupa arti pentingnya “mengamankan” sumberdaya pesisir, sehingga pemanfaatannya menjadi tidak terkendali; ujung-ujungnya kerusakan lingkungan yang parah menjadi penyebab bencana alam dan bencana ekonoimi masyarakat pesisir. Bagamana pun upaya menata pesisir yang baik merupakan faktor kunci terwujudnya pembangunan berkelanjutan masa sekarang dan yang akan datang.
Menata pesisir, perlu legalitas
Wilayah pesisir sebagaimana tercantum dalam UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; Pasal 1 Angka 2 : “Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem di darat dan di laut”; kearah laut sampai batas 12 mil laut, sedangkan di darat sebatas kecamatan pesisir. Supaya pembangunan kawasan pesisir bisa langgeng berkelanjutan; maka perlu ada pemintakatan (zonasi) yang tepat dalam mengalokasikan ruang, memilah kegiatan sinergis, dan pengendaliannya. Dengan pemintakatan berarti wilayah pesisir menjadi zona sesuai peruntukannya, kegiatan yang saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible). Dari itu pemintakatan harus memperhatikan : pertama, mempertimbangkan kebijakan pemerintah pusat/daerah, kepentingan masyarakat, dan hak-hak ulayat; kedua, bio-ekoregion karena wilayah pesisir dibentuk oleh sub-ekosistem yang saling berkaitan; ketiga, persepsi masyarakat yang hidup di sekitar ekosistem, berkaitan dengan konteks histori pemanfaatan sumberdaya hayati masa lampau sampai saat ini serta implikasinya terhadap keberlanjutan sumberdaya.
Pemintakatan wilayah pesisir tentu saja harus mempedomani peraturan perundangn yang ada dan saling berkaitan; seperti UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah disempurnakan menjadi UU No. 12 Tahun 2008 dlsb. Dengan demikian pemintakatan tersebut menjadi produk hukum yang benar-benar menganut peruntukan yang sesuai dan dominan di wilayah pesisir. Agar supaya mengikat semua stakeholders, maka perlu ada “pernyataan pemintakatan” berupa legalitas yang rasional, misalnya dalam bentuk peraturan daerah (Perda) Kabupaten/Kota yang berwibawa dan konsisten; serta dibarengi “penanaman etika pembangunan berkelanjutan” melalui sentuhan nilai-nilai sosial budaya dan keagamaan.
Dalam upaya menata pesisir masa depan, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi. Jawa Timur sudah mengulur “pancing” berupa kegiatan proyek tata ruang pesisir atau bentuk lain, seperti dilakukan di Kabupaten-kabupaten Situbondo, Tuban, Probolinggo Pacitan, , Banyuwangi dll. Kiranya hasil tata ruang tersebut perlu ditindak lanjuti secara positif oleh Pemerintah Kabupaten/Kota pantai dengan menyusun rancangan peraturan daerah sebagai embrio peraturan daerah (Perda) yang mantap dan konsisten dalam pelaksanaannya. Keberadaan perda tersebut akan membentengi dari perbuatan tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab dalam memanfaatkan sumberdaya pesiri demi keuntungan yang hanya sesaat bagi kelompoknya. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota Kawasan Pesisir, jangan hanya memprioritaskan Perda penghasil PAD saja; tetapi hasilkan Perda yang mensejahterakan masyarakat; seperti halnya Perda penataan pesisir, yang berfungsi sebagai “tabungan potensi pembangunan” demi masa depan bangsa.
Kini saatnya para pimpinan daerah kawasan pantai menunjukkan prestasinya mengangkat harkat hidup nelayan dan masyarakat pesisir dengan mewujudkan penataan ruang pesisir yang bertanggung jawab sesuai kaidah hukum di Indonesia maupun internasional seperti tercantum di dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Dan kepada para Anggota Dewan, senyampang masih ada kesempatan satu tahun tunjukkan karya mulia bersama Bupati/Walikota Kawasan Pesisir menyusun dan sekaligus mengsahkan peraturan daerah tentang tata ruang pesisir demi anak cucu kita.
(Sumber : Djoko Tribawono, Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI) Jatim Dosen Tidak Tetap PS Budidaya Perairan FKH-UNAIR Pemerhati Hukum/Peraturan Perikanan-Kelautan Tinggal di Surabaya. Anggota Forum Illegal Fishing Indonesia).
kirim ke teman | versi cetak
http://www.p2sdkpkendari.com/?pilih=news&aksi=lihat&id=373 diakses tanggal 23 november 2009.
















PENERAPAN KONSEP KONSERVSI SUMBER DAYA HAYATI PERAIRAN
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui yang mempunyai banyak sekali manfaat baik manfaat dari segi ekologis, segi fisik maupun segi ekonomis. Secara ekologis ekosistem mangrove memberikan manfaat yang besar terhadap lingkungan di wilayah pesisir diantaranya (1) menciptakan iklim mikro yang baik. Salah satu jenis mangrove yang banyak dijumpai adalah Rhizophora mucronata. Jenis mangrove ini mempunyai tajuk yang padat dan hijau yang bisa membentuk iklim mikro yang baik bagi wilayah pesisir di sekitarnya ; (2) ekosistem mangrove mampu memelihara dan memperbaiki kualitas air sehingga bisa mereduksi keberadaan polutan atau zat pencemar air lainnya. Hasil penelitian menyatakan bahwa vegetasi mangrove mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi logam berat dengan cara menyerap ion-ion dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel kemudian menetralkan kembali. Sebagai contoh, pohon api-api (Avicennia marina) memiliki upaya penanggulangan materi toksik dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam tersebut. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh vegetasi mangrove akan mengalami pengikatan dan penurunan daya racun, karena diolah menjadi bentuk-bentuk persenyawaan yang lebih sederhana; (3) sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembang biak (nursery ground) bagi jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya. Mangrove mempunyai nilai produksi bersih yang cukup tinggi, yaitu : biomassa (62,9-398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan riap volume (20 tcal/ha/th. 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun). Dengan nilai produksi bersih yang cukup tinggi mempunyai peranan yang cukup berarti bagi kelangsungan rantai kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir; (4) ekositem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi. Sebagai contoh, ekosistem mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002).
Secara fisik mangrove memiliki fungsi diantaranya : (1) menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil. Keberadaan akar mangrove yang menghujam ke tanah mampu mengikat tanah agar tetap stabil sehingga sangat bagus ditanam digaris pantai maupun di sekitar kanan kiri sungai agar tidak terjadi abrasi maupun erosi tebing sungai ; (2) mempercepat perluasan lahan melalui proses sedimentasi. Substrat atau lumpur yang terbawa oleh ombak yang diikat oleh mangrove lama-kelamaan menjadi semakin luas karena vegetasi mangrove makin hari makin bertambah dan makin menjorok ke arah laut sehingga luasan lahan daratan atau yang lebih dikenal dengan tanah timbul bisa dimanfaatkan oleh masyarakt pesisir untuk membuat tambak demi meningkatkan perekonomian mereka ; (3) mengendalikan intrusi air laut. Sering kali dijumpai disuatu daerah pesisir dengan vegetasi mangrove yang jarang air tanahnya menjadi asin karena pengaruh intrusi (masuknya) air laut ke daratan yang cuup tinggi, sebaliknya di daerah yang vegetasi mangrovenya tebal dengan jarak yang sama dari garis pantai ternyata air tanahnya tidak asin, hal ini menunjukkan adanya pengaruh keberadaan mangrove terhadap intrusi air laut ; (3) melindungi daerah di belakang mengrove dari hempasan gelombang, angin kencang dan mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian menunjukkan hutan mangrove dengan ketebalan 60 hingga 70 meter dari bibir pantai mereduksi ketinggian gelombang laut mencapai 3,5 mater. Jadi jika di suatu daerah yang mempunyai hutan mangrove selebar 65 meter, apabila terjadi gelombang pasang setinggi 4,5 meter dapat direndam sehingga menjadi 1 meter (Pratikto, 2002). Bentangan hutan mangrove sejauh 1200 meter mampu mengurangi gelombang tsunami mencapai 2 km. Struktur hutan mangrove dengan ketinggian pohon mencapai 20 meter dan dengan akar napas yang rapat sedikit banyak memiliki peran sebagai pemecah gelombang yang efektif sehingga kekuatan dan kecepatan gelombang bisa tereduksi. Dengan demikian ekosistem mangrove dapat berperan sebagai penghambat energi gelombang sehingga jika terjadi bencana tsunami efek kerusakan yang ditimbulkan tidak terlalu besar.
Secara ekonomis mangrove berfungsi sebagai (1) menghasilkan hasil hutan berupa kayu. Kayu bakau merupakan penghasil arang yang baik. Harga arang bakau satu kantong plastik ukuran sedang bisa mencapai Rp 12.000,- ini merupakan potensi ekonomi yang menjanjikan tentunya harus dikelola dengan sistem pemanenan kayu yang terencana dengan baik sehingga tidak terjadi overcuting ; (2) hasil hutan berupa non kayu, madu, obat-obatan, minuman dan makanan, tanin (zat penyamak kulit), serat sintetis dan produk komersial lainnya; (3) sarana ekotourisme ; (4) wanamina/pertambakan.
Apakah Anda sadar, bahwa (1) asap motor dan mobil Anda yang beracun itu, telah diserap dengan baik oleh dedaunan mangrove sehingga udara di kota kita menjadi bersih dan sehat? Lalu, apakah Anda juga tidak ingat bahwa (2) daun-daun mangrove yang lebat, berguna sekali dalam menyerap karbon untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang saat ini menjadi ancaman serius bagi umat manusia, yaitu pemanasan global. Tak hanya itu, bahkan bagi Anda yang seringkali melancong ke daerah-daerah wisata lalu menginap di hotelnya, (3) air hotel yang tawar dan dingin itu, tak akan mungkin bisa seperti itu, apabila tidak dilindungi oleh akar-akar mangrove dari intrusi air laut yang asin. Satu hal lagi, (4) setiap kali Anda membuang sampah apapun bentuknya, maka saat sampah Anda mencapai pesisir, maka mangrove yang baik, telah menetralisirnya sehingga laut kita menjadi sangat bersih dan tak tercemar lagi. Intinya, (5) masih banyak lagi manfaat mangrove lainnya, bagi Anda yang tinggal jauh dari wilayah pesisir, yang “tentu saja” tak Anda sadari.
Permasalahan utama tentang tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal mangrove menjadi areal pemukiman, kegiatan-kegiatan komersil, industri dan pertanian. selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu telah menyebabkan eksploitasi berlebihan dari hutan mangrove. kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya peraian atau dengan kat lain terjadi kegiatan ahli fengsi dari lahan mangrove. Kegiatan terakhir ini memberikan kontribusi terbesar dalam pengrusakan ekosistem mengroe.
Melihat permasalahan di atas maka penerapan konsep konservasi yang baik adalah adanya perencanaan dan pengelolaan secara terintegrasi dan terpadu terutama penataan ruang pembangunan wilayah pesisir dan pemintakan wilayah pesisir sehingga kegiatan yang dapat merusak ekosistem mangrove salah satunya adalah ahli fungsi lahan mangrove untuk beberapa kegiatan dapat diminimalisir atau di cegah.
adapun penerapan konsep konservasi untuk ekosisitem mangrove untuk meminimlisir terjadinya ahli fungsi lahan mangrove adalah sebagai berikut :
1. Mencegah terjadinya sedimentasi dan erosi pengendapan yang berlebihan melalui cara pemeliharaan karakter substrat lahan mangrove dan menjaga keseimbangan antara pertambahan tnah, erosi, sedimentasi serta saluran-saluran air.
2. Menetapkan batas mksimum untuk seluruh hasil panen yang dapat diproduksi sehingga tidak terjadi eksploitasi hutan mangrove secara berlebihan, salah satunya terjadi penebangan mangrove yang di ahli fungsikan sebagai kegiatan tambak, pemukiman tidak berlebihan.
3. Pemerintah dan stakeholders yng terkait melakukan pemintakatan wilayah pesisir tentu saja harus mempedomani peraturan perundangn yang ada dan saling berkaitan; seperti UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah disempurnakan menjadi UU No. 12 Tahun 2008.

KONSERVASI 2

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001), dimana dua pertiga dari keseluruhan wilayah Indonesia merupakan lautan yang diperkirakan seluas 5,8 juta km2. Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan alam hayati yang besar yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Salah satu potensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir dan kelautan Indonesia adalah sumberdaya ikan laut.
Potensi sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia 6,26 juta ton per tahun yang terdiri dan potensi di perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton pertahun dan perairan ZEEI sekitar 1,86 juta ton pertahun (Ditjen Perikanan Tangkap-DKP dan PKSPL-IPB, 2004). Potensi tersebut tersebar di sembilan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia, yaitu : Selat Malaka, Laut Natuna, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Selat Sunda, Laut Flores, Selat Makasar, Laut Banda, Laut Malaka, Teluk Tomini, Laut Seram, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, Laut Araftira dan Samudera Hindia.
Dengan potensi sumberdaya ikan laut yang begitu besar, maka ancaman terhadap sumberdaya ikan laut pun semakin besar. Dengan besarnya tekanan gangguan terhadap potensi sumberdaya ikan tersebut maka diperlukan suatu bentuk pengelolaan yang baik di wilayah perairan Indonesia khususnya di setiap wilayah yang memiliki potensi sumberdaya ikan laut yang cukup tinggi. Salah yang berada di sekitar wilayah perairan yang memiliki potensi cukup besar. Pengelolaan dengan melibatkan masyarakat merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumber daya alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Dimana diketahui masyarakat yang berada di sekitar wilayah perairan yang memiliki potensi sumberdaya ikan laut yang besar tentu akan lebih memperhatikan dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan dari potensi sumberdaya ikan laut yang berada di wilayah mereka. Selain itu, masyarakat di sekitar wilayah perairan yang memiliki potensi sumberdaya ikan laut yang besar akan lebih sadar untuk mengelola sumberdaya ikan laut dengan cara-cara yang lebih ramah lingkungan (pemanfaatan secara lestari).
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1. Memberikan gambaran mengenai potensi sumberdaya ikan laut yang berada di wilayah perairan Indonesia.
2. Menjelaskan permasalahan yang terjadi pada pemanfaatan potensi sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia.
Manfaat dari penulisan makalah ini ialah :
1. Mahasiswa dapat memahami potensi sumberdaya ikan laut yang ada di Indonesia.
2. Mahasiswa dapat mengetahui permasalahan yang terjadi pada pemanfaatan potensi sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia.

C. Perumusan Masalah
Banyaknya kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab seperti Illegal fishing, pencurian ikan, penangkapan ikan dengan menggunakan alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan menyebabkan rusaknya atau berkurang potensi sumberdaya perikanan di perairan Indonesia. Selain itu, pemanfaatan sumberdaya ikan laut secara bersama-sama yang dikenal dengan istilah Open Access banyak menimbulkan masalah kerusakan sumberdaya hayati laut, pencemaran, over-exploitation, dan konflik-konflik antar nelayan. Walaupun sumber daya ikan merupakan jenis sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), namun sumberdaya ikan tersebut mempunyai batas-batas tertentu sesuai dengan daya dukungnya (carrying capacity). Oleh karena itu, apabila pemanfaatannya dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan pengelolaan, maka akan terjadi kepunahan. Berkaitan dengan hal tersebut di ata, maka pengelolaan sumberdaya ikan merupakan hal sangat penting dan harus dilaksanakan secara terpadu dan terarah dengan melibatkan masyarakat. Pengelolaan perikanan (Fisheries Management) merupakan upaya yang sangat penting dalam mengantisipasi terjadinya permasalahan, baik ekologi maupun sosial ekonomi di wilayah pesisir dan laut.




II. PEMBAHASAN
A. Potensi Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia
Potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumberdaya perikanan pelagis besar (451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun), sumber daya perikanan demersal 3.163.630 ton/tahun, udang (100.720 ton/tahun), ikan karang (80.082 ton/tahun) dan cumi-cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara nasional potensi lestari perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48% (Dirjen Perikanan 1995). Data pada tahun 1998 menunjukkan bahwa produksi ikan laut adalah 3.616.140 ton dan hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan potensi laut baru mencapai 57,0% (Ditjen Perikanan 1999 dalam Susilo 2001). Pada tahun 2004, dilaporkan potensi sumberdaya ikan laut diperairan Indonesia 6,26 juta ton per tahun yang terdiri dan potensi di perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton pertahun dan perairan ZEEI sekitar 1,86 juta ton pertahun (Ditjen Perikanan Tangkap-DKP dan PKSPL-IPB, 2004). Potensi tersebut tersebar di sembilan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia, yaitu : Selat Malaka, Laut Natuna, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Selat Sunda, Laut Flores, Selat Makasar, Laut Banda, Laut Malaka, Teluk Tomini, Laut Seram, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, Laut Araftira dan Samudera Hindia. Sedangkan potensi lahan pertambakan diperkirakan seluas 866.550 Ha dan baru dimanfaatkan seluas 344.759 Ha (39,78%) bahkan bisa lebih tinggi lagi. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk peningkatan produksi dan produktivitas lahan. Keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan produksi perlu diatur sehingga bisa mendatangkan keuntungan bagi semua pihak dan pengelolaan yang bersifat ramah lingkungan dan lestari.
Pada usaha penangkapan ikan, perlu adanya peningkatan keterampilan bagi masyarakat dengan menggunakan teknologi baru yang efisien. Hal ini untuk mengantisipasi persaingan penangkapan oleh negara lain yang sering masuk ke perairan Indonesia dengan teknologi lebih maju. Usaha ini melibatkan semua pihak mulai dari masyarakat nelayan, pengusaha dan pemerintah serta pihak terkait lainnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah memberi pengertian pada masyarakat nelayan tentang bahaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak atau penggunaan racun.
Pada bidang pertambakan, disamping dilakukan secara ekstensifikasi, usaha peningkatan hasil pertambakan dalam bentuk intensifikasi. Hal ini jika dihubungkan dengan pengelolaan tambak di Indonesia pada umumnya masih tradisional. Dengan hasil produksi pertambakan Indonesia tahun 1998 berjumlah 585.900 ton yang merupakan nilai lebih dari 50% hasil kegiatan budidaya perikanan (Susilo 1999 dalam Ditjen Perikanan 1999). Keterlibatan masyarakat dalam bentuk pertambakan inti rakyat dimana perusahaan sebagai intinya dan masyarakat petambak sebagai plasma merupakan suatu konsep yang baik meskipun kadangkala dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Hubungan lainnya seperti kemitraan antara masyarakat petambak dengan pengusaha penyedia sarana produksi juga adalah salah satu model kemitraan yang perlu dikembangkan dan disempurnakan dimasa yang akan datang.

B. Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir
Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain adalah pencemaran, degradasi habitat, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan bencana alam.
a. Pencemaran
Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (DKP RI, 2002).
Masalah pencemaran ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS). Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai.
Pengembangan kota dan industri merupakan sumber bahan sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut. Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan jumlah sampah baik padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut yang sulit dikontrol. Sektor industri dan pertambangan yang menghasilkan limbah kimia (berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan lain-lain) yang dibuang dalam jumlah besar ke aliran sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut, terlebih bahan sianida yang terkenal dengan racun yang sangat berbahaya.
b. Kerusakan Fisik Habitat dari Organisme
Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan telah mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Hal ini terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut atau padang lamun. Kebanyakan rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan perikanan tambak mengakibatkan rusaknya habitat bagi organisme yang berasosiasi dengan wilayah tersebut seperti ikan, kepiting, dan lain-lain. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30 – 40 % dari jumlah seluruh hutan mangrove dunia Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71%), Sumatra (16 %), Kalimantan (9 %) dan Sulawesi ( 2,5 %). Namun akibat dari aktivitas manusia, pada tahun 1970 – 1980, luas hutan mangrove Indonesia berkurang sekitar 700.000 ha untuk penggunaan lahan lainnya (Nugroho dkk 2001).
Ekosistem lainnya yang mengalami kerusakan cukup parah di Indonesia adalah ekosistem terumbu karang. Dari berbagai hasil penelitian menggambarkan bahwa dari 24 lokasi terumbu karang yang ada di Indoneisia, 60 % berada dalam kondisi sangat baik, 22 % baik, 33,5 % sedang dan 39 % dalam keadaan rusak (Suharsono dan Sukarno, 1992 dalam Dahuri dkk 2001). Menurut Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1993) bahwa 14 % ekosistem terumbu karang di Indonesia sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, 46 % telah mengalami kerusakan, 33 % dalam keadaan baik, dan 7 % dalam keadaan sangat baik.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya terumbu karang antara lain adalah : (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, jalan, dan hiasan, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, racun, dan alat tangkap ikan tertentu, (3) pencemaran perairan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, (4) pengendapan dan peningkatan kekeruhan perairan akibat erosi tanah di darat, penggalian dan penambangan, (5) eksploitasi berlebihan sumber daya perikanan karang.
Ekosistem padang lamun secara khusus rentan terhadap degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Beberapa aktivitas manusia yang dapat mengrusak ekosistem padang lamun adalah (1) pengerukan dan pengurugan untuk pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri dan saluran navigasi, (2) pencemaran logam industri terutama logam berat, dan senyawa organoklorin, pembuangan sampah organik, pencemaran oleh limbah industri, pertanian, dan minyak (Bengen 2002).
c. Eksploitasi sumber daya secara berlebihan
Ada beberapa sumber daya perikanan yang telah dieksploitir secara berlebihan (overfishing), termasuk udang, ikan demersal, palagis kecil, dan ikan karang. Hal ini terjadi terutama di daerah-daerah dengan penduduk padat, misalnya di Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan. Menipisnya stok sumber daya tersebut, selain karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang baik secara langsung atau tidak merusak ekosistem dan lingkungan sehingga perkembangan sumber daya perikanan terganggu. Disamping itu, kurangnya apresiasi dan pengetahuan manusia untuk melakukan konservasi sumber daya perikanan, seperti udang, mangrove, terumbu karang, dan lain-lain.
d. Abrasi Pantai
Ada 2 faktor yang menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yaitu : (1) proses alami (karena gerakan gelombang pada pantai terbuka), (2) aktivitas manusia. Kegiatan manusia tersebut misalnya kegiatan penebangan hutan (HPH) atau pertanian di lahan atas yang tidak mengindahkan konsep konservasi telah menyebabkan erosi tanah dan kemudian sedimen tersebut dibawa ke aliran sungai serta diendapkan di kawasan pesisir. Aktivitas manusia lainya adalah menebang atau merusak ekosistem mangrove di garis pantai baik untuk keperluan kayu, bahan baku arang, maupun dalam rangka pembuatan tambak. Padahal menurut Bengen (2001, 2000) hutan magrove tersebut secara ekologis dapat berfungsi : (1) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur, dan penangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, (2) penghasil detritus (bahan makanan bagi udang, kepiting, dan lain-lain) dan mineral-mineral yang dapat menyuburkan perairan, (3) Sebagai daerah nurshery ground, feeding ground dan spawing ground bermacam biota perairan.
e. Konversi Kawasan Lindung ke Penggunaan Lainnya.
Dewasa ini banyak sekali terjadi pergeseran penggunaan lahan, misalnya dari lahan pertanian menjadi lahan industri, property, perkantoran, dan lain sebagainya yang terkadang kebijakan persegeran tersebut tanpa mempertimbangkan efek ekologi, tetapi hanya mempertimbangkan keuntungan ekonomi jangka pendek. Demikian juga halnya yang terjadi di wilayah pesisir, banyak terjadi pergeseran lahan pesisir dan bahkan kawasan lindung sekalipun menjadi lahan pemukiman, industri, pelabuhan, perikanan tambak, dan parawisata. Akibatnya terjadi kerusakan ekosistem di sekitar pesisir, terutama ekosistem mangrove. Jika ekosistem mangrove rusak dan bahkan punah, maka hal yang akan terjadi adalah (1) regenerasi stok ikan dan udang terancam, (2) terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh hutan mangrove, (3) pedangkalan perairan pantai, (4) erosi garis pantai dan intrusi garam.
f. Bencana Alam
Bencana alam merupakan kejadian alami yang berdampak negatif pada sumber daya pesisir dan lautan diluar kontrol manusia. Beberapa macam bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir dan merusak lingkungan pesisir antara lain adalah kenaikan muka laut, gelombang pasang tsunami, dan radiasi ultra violet.
C. Peraturan Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pengelolaan perikanan di laut lepas menjadi obyek pengaturan dari konvensi tentang perikanan dan konservasi Sumberdaya Hayati di Laut Lepas (Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas) yang merupakan salah satu dari empat Konvensi Jenewa 1958. Dalam konvensi ini ditetapkan bahwa semua Negara mempunyai hak bagi warga negaranya untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas serta setiap negara juga mempunyai kewajiban untuk melakukan konservasi di laut lepas tersebut.
Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS) yang membagi pengelolaan perikanan pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan laut lepas. Pada Konferensi PBB ke-lll tentang Hukum Laut tahun 1973-1982, masalah pengaturan ZEE adalah salah satu isu yang banyak dibahas dan diwarnai perbedaan pendapat. Ini dikarenakan ZEE sebagai rezirn baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam hukum laut, dimana pengaturannya menimbulkan perubahan mendasar dalam pembagian tradisional antara laut territorial yang merupakan zona kedaulatan negara pantai dan laut lepas yang sifatnya terbuka untuk semua Negara (Anwar, 1995). Secara ringkas, tujuan konservasi sumber daya perikanan dari ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 di ZEE, yaitu (Anwar, 1995) :
1. Menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan.
2. Pemeliharaan sumberdaya hayati di ZEE.
3. Bahwa populasi dari spesies yang ditangkap, dipelihara sedemikian rupa atau dikembalikan pada tingkat yang dapat menghasilkan tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield).
Dengan demikian jelas bahwa hak-hak berdaulat Negara pantai atas sumberdaya hayati di ZEE harus diimbangi dengan kewajiban Negara pantai untuk melakukan upaya konservasi. Selain itu, pasal 62 Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur kerjasama penangkapan ikan di wilayah ZEE, apabila suatu Negara pantai tidak mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan memperhatikan terlebih dahulu Negara yang tidak berpantai (Land-Locked State) dan Negara yang kurang beruntung (Geographically Disadvantage State). Sementara itu dalam pasal 63 Konvensi Hukum Laut 1982 disebutkan bahwa dalam melaksanakan hak-hak berdaulatnya (Sovereign Rights) dalam melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan di ZEE, Negara pantai dapat melakukan penegakkan hukum seperti menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan. Selain itu disebutkan juga bahwa semua negara mempunyai hak bagi warga negaranya untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas dengan tunduk pada kewajibannya berdasarkan perjanjian internasional, serta mereka juga harus tunduk pada hak, dan kewajiban maupun kepentingan Negara pantai (pasal 116 Konvensi Hukum Laut 1982). Negara-negara tersebut juga mempunyai kewajiban untuk mengambil tindakan konservasi sumberdaya hayati. Tidak rincinya pengaturan perikanan di laut lepas pada Konvensi Hukum Laut 1982 disebabkan sekitar 90 % dari jumlah keseluruhan tangkapan ikan dunia berasal dari perairan yang berada di bawah rezim zona ekonomi eksklusif (Koers, 1994).
Aturan internasional lain yang terkait dengan pengelolaan perikanan yang perlu dicermati adalah Code of Conduct for responsible Fisheries (CCRF). Menurut dokumen FAO ini, setiap Negara harus mengadopsi pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan yang tepat berdasarkan bukti dan fakta ilmiah yang tersedia. Selain itu, pendekatan harus diarahkan untuk mempertahankan atau memulihkan stok ikan di laut pada tingkat kemampuan maksimum menghasilkan ikan tanpa merusak lingkungan dan mengganggu stabilitas ekonomi. Pendekatan yang berkaitan dengan teknik penangkapan, yaitu ukuran ikan, ukuran mata jaring atau alat tangkap, penutupan musim tangkapan, dan wilayah pengelolaan perikanan tertentu termasuk juga perlindungan terhadap juvenil (larva ikan) dan daerah pemijahan ikan (Pasal 7 CCRF 1995).
Mengenai pengelolaan perikanan oleh organisasi regional, pasal 7 CCRF juga memerintahkan untuk dibentuknya kerjasama organisasi bilateral, organisasi subregional dan organisasi regional yang berguna untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan yang ikan-ikannya bersifat lintas batas (Tramboundary fish), ikan yang bergerak di dua wilayah (straddling fish), ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory) dan ikan yang berada dilaut lepas (high seas).
D. Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Mempertimbangkan karakteristik masyarakat pesisir, khususnya nelayan sebagai komponen yang paling banyak, serta cakupan atau batasan pemberdayaan maka sudah tentu pemberdayaan nelayan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Nikijuluw (1994), adalah pembangunan dengan memiliki cirri-ciri (1) berbasis lokal; (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan; (3) berbasis kemitraan; (4) secara holistik; dan (5) berkelanjutan.
Pembangunan berbasis lokal adalah bahwa pembangunan itu bukan saja dilakukan setempat tetapi juga melibatkan sumber daya lokal sehingga akhirnya return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Dengan demikian maka prinsip daya saing komparatif akan dilaksanakan sebagai dasar atau langkah awal untuk mencapai daya saing kompetitif. Pembangunan berbasis lokal tidak membuat penduduk lokal sekedar penonton dan pemerhati di luar sistem, tetapi melibatkan mereka dalam pembangunan itu sendiri.
Pembangunan yang berorientasi kesejahteraan menitikberatkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi. Ini merubah prinsip-prinsip yang dianut selama ini yaitu bahwa pencapaian pembangunan lebih diarahkan pemenuhan target-target variable ekonomi makro. Pembangunan komprehensif yang diwujudkan dalam bentuk usaha kemitraan yang mutualistis antara orang lokal (orang miskin) dengan orang yang lebih mampu. Kemitraan akan membuka akses orang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik, serta pergaulan bisnis yang lebih luas.
Pembangunan secara holistik dalam pembangunan mencakup semua aspek. Untuk itu setiap sumber daya lokal patut diketahui dan didayagunakan. Kebanyakan masyarakat pesisir memang bergantung pada kegiatan sektor kelautan (perikanan), tetapi itu tidak berarti bahwa semua orang harus bergantung pada perikanan. Akibat dari semua orang menggantungkan diri pada perikanan yaitu kemungkinan terjadinya degradasi sumber daya ikan, penurunan produksi, kenaikan biaya produksi, penurunan pendapatan dan penurunan kesejahteraan.
Pembangunan yang berkelanjutan mencakup juga aspek ekonomi dan sosial. Keberlanjutan ekonomi berarti bahwa tidak ada eksploitasi ekonomi dari pelaku ekonomi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam kaitannya ini maka perlu ada kelembagaan ekonomi yang menyediakan, menampung dan memberikan akses bagi setiap pelaku. Keberlanjutan sosial berarti bahwa pembangunan tidak melawan, merusak dan atau menggantikan system dan nilai sosial yang positif yang telah teruji sekian lama dan telah dipraktekkan oleh masyarakat (Latama, 2008).
E. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
Menurut Latama (2008), dalam rangka mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang berbasis masyarakat diperlukan beberapa proses pengelolaan yang sesuai dengan tahapan manajemen yaitu mulai dari perencanan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Tahapan proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat tetap mengacu kepada proses perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan lautan

Gambar 1. Skema Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
1. Tahap Perencanaan
Tahap awal dari proses perencanaan adalah dengan cara mengidentifikasi dan mendefinisikan isu dan permasalahan yang ada, yang menyangkut kerusakan sumber daya alam (ekosistem), konflik penggunaan, pencemaran, dimana perlu dilihat penyebab dan sumber permasalahan tersebut khususnya untuk sumberdaya perikanan laut. Selanjutnya juga perlu diperhatikan sumber daya alam dan ekosistem yang ada yang menyangkut potensi, daya dukung, status, tingkat pemanfaatan, kondisi sosial ekonomi dan budaya setempat seperti jumlah dan kepadatan penduduk, keragaman suku, jenis mata pencaharian masyarakat lokal, sarana dan prasarana ekonomi dan lain-lain. Berdasarkan pendefinisian masalah yang dipadukan dengan informasi tentang sumber daya alam dan ekosistem serta aspirasi masyarakat selanjutnya disusun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Berdasarkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai serta melihat peluang dan kendala yang ada selanjutnya mulai dibuat perencanaan berupa kegiatan pembangunan dalam bentuk program dan proyek. Perencanaan yang telah disusun perlu disosialisasikan kembali kepada masyarakat luas untuk mendapat persetujuan, setelah mendapat pesetujuan rencana ini baru dimasukkan dalam agenda pembangunan baik daerah maupun nasional.
Dalam penyusunan rencana pengelolaan ini, perlu juga diperhatikan bahwa konsep pengelolaan sumber daya pesisir terpadu berbasis masyarakat diharapkan akan mampu untuk (1) meningkatkan kesadaran masyarakat, akan pentingnya SDA dalam menunjang kehidupan mereka (2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan dan (3) meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan (Zamani dan Darmawan, 2000).
2. Tahap Pelaksanaan (Implementasi) Rencana
Pada tahap implementasi perencanaan, diperlukan kesiapan dari semua pihak yang terlibat didalamnya, seperti masyarakat itu sendiri, tenaga pendamping lapangan dan pihak lainnya. Selain itu juga diperlukan koordinasi dan keterpaduan antar sektor dan stakeholder yang ada sehingga tidak terjadi tumpang tindih kepentingan dan ego sektoral. Dalam hal ini diperlukan adanya lembaga pelaksana yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah, masyarakat lokal, Investor/swasta, instansi sektoral, Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pada tahap implementasi ini juga diperlukan kesamaan persepsi antara masyarakat lokal dengan lembaga atau orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ini sehingga masyarakat benar-benar memahami rencana yang akan dilaksanakan. Menurut Zamani dan Darmawan (2000) kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan pada tahap implementasi ini adalah: (1) integrasi ke dalam masyarakat, dengan melakukan pertemuan dengan masyarakat untuk menjawab seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan penerapan konsep dan mengidentifikasi pemimpin potensial yang terdapat di lembaga masyarakat lokal. (2) pendidikan dan pelatihan masyarakat, metoda pendidikan dapat dilakukan secara non formal menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan cara tatap muka sehingga dapat diperoleh informasi dua arah dan pengetahuan masyarakat lokal (indigenous knowledge) dapat dikumpulkan untuk dimasukkan dalam konsep penerapan (3) memfasilitasi arah kebijakan, dalam hal ini segenap kebijakan yang berasal dari masyarakat dan telah disetujui oleh koordinator pelaksana hendaknya dapat didukung oleh pemerintah daerah, sehingga kebijakan bersama tersebut mempunyai kekuatan hukum yang jelas, dan (4) penegakan hukum dan peraturan, yang dimaksudkan agar seluruh pihak yang terlibat akan dapat menyesuaikan tindakannya dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
3. Tahap Monitoring dan Evaluasi
Monitoring yang dilakukan sejak dimulainya proses implementasi perencanaan dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas kegiatan, permasalahan yang timbul dalam implementasi kegiatan. Monitoring dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang ada. Setelah monitoring selanjutnya dilakukan evaluasi bersama secara terpadu dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Melalui evaluasi ini akan diketahui kelemahan dan kelebihan dari perencanaan yang ada guna perbaikan untuk pelaksanaan tahap berikutnya.
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu berbasis masyarakat sesuai dengan prinsip Ko-manajemen perikanan yaitu pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan. Oleh sebab itu keberhasilan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat dapat mengacu kepada indikator keberhasilan pengelolaan perikanan.

III. PENUTUP
Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan salah satu bentuk pendekatan terhadap pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya ikan laut, selain itu pengelolaan berbasis masyarakat juga mdapat meningkatkan partisipasi, rasa memiliki serta tanggung jawab masyarakat yang mendiami wilyaha-wilayah yang memiliki potensi sumberdaya ikanlaut yang cukup besar.

















DAFTAR PUSTAKA
Solihin, Ahmad. 2006. Konteks Otonomi dan Globalisasi Lingkungan. Majalah Cakrawala TNI-AL.

Koers, Albert. 1994. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut : Suatu Ringkasan. Gadjah Mada Univ Press . Yogyakarta.
Latama, G., dkk. 2008. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Zamani, N.P dan Darmawan, 2000. Pengelolaan Sumber daya Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor 21 – 26 Februari 2000. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.

















I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum konsevasi adalah kegiatan pemeliharaan dan perlindungan sumberdaya secara sistematik untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan. Dari pengertian tersebut, orang sering salah menganggap bahwa kegiatan konservasi sumberdaya alam hanya merupakan tindakan perlindungan semata-mata. Padahal tujuan dari kegiatan konservasi adalah melakukan kegiatan perlindungan sumberdaya untuk tujuan pemanfaatan (Anonim, 2007). Pada prinsipnya kegiatan konservasi ditujukan untuk mempertahankan komponen-komponen alami yang kokoh, tetapi sebagian wilayah atau komponen lingkungan tersebut digunakan untuk kepentingan ekonomi (Koeswardhono, 1992).
Konservasi merupakan kegiatan pemiliharaan dan perlindungan sumberdaya secara sistematik untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan. Banyak ahli lingkungan memberikan defenisi konservasi menurut sudut pandang ilmunya masing-masing. Namun pada prinsipnya kegiatan konservasi ditujukan untuk mempertahankan komponen-komponen alami yang kokoh, tetapi sebagian wilayah atau komponen lingkungan tersebut digunakan untuk kepentingan ekonomi (Koeswardhono, 1992 dalam Utama, 2000). Sementara itu dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1997 bahwa konservasi sumberdaya alam didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya yang menjamin pemanfaatannya secara berkesinambungan dan bagi sumberdaya terbaharui menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai keanekaragamannya.
Sejalan dengan pembangunan yang berkelanjutan terutama terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan dan habitatnya, perlu dilakukan upaya pelestarian sumberdaya ikan dan habitatnya melalui pembentukan konservasi perairan. Bentuk kawasan konservasi perairan berdasarkan Undang – undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 adalah suaka perikanan (Pasal 7 Ayat 1). Suaka perikanan didefenisikan sebagai kawasan perairan tertentu dengan kondisi dan ciri tertentu yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. Upaya konservasi atau perlindungan yang dilakukan adalah rangka pengelolaan sumberdaya ikan dan habitatnya untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan berkesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pengembangan kawasan konservasi perairan di Sulawesi Tenggara merupakan kebutuhan yang sangat penting khususnya di Bungkutoko memiliki topografi yang sangat unik dan khas kepulauan yaitu daratan kecil yang dikelilingi dengan lautan.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dan manfaat dari praktek lapangan konservasi wilayah pesisir dan laut ini adalah untuk mengatahui kawasan konservasi yang ada di suatu wilayah, serta mengetahui kriteria kawasan konservasi.
Kegunaan dari praktek lapang ini adalah agar para praktikan dapat mengetahui dan memahami bentuk dan kriteria dari kawasan konservasi laut pada wilayah pesisir pantai pantai Pulau Bugkutoko.















II. TINJAUAN PUSTAKA
Undang – undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang –undang ini mengatur semua aspek yang berkaitan dengan konservasi, baik ruang maupun sumberdaya alamnya, sebagaimana ditegaskan dalam bagian penjelasannya, bahwa undang – undang ini bertujuan “untuk mengatur perlindungan system penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan manusia”. Pasal 1 angka 7 : “Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat,dan atau di air laut, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia”. Penjelasan Pasal 1 angka 7 : “Ikan dan ternak termaksuk di dalam pengertian satwa liar, tetapi termasuk di dalam satwa”.
Kawasan perlindungan alam laut terdiri atas Taman Nasional Laut dan Taman Wisata Alam Laut. Taman Nasional Laut merupakan kawasan pelestarian alam laut yang memiliki ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi guna untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan Taman Wisata Alam Laut merupakan kawasan pelestarian alam laut yang pemanfaatan utamanya adalah untuk pariwisata dan rekreasi. Untuk itu digunakan sembilan kriteria yaitu, keaslian, keunikan, luasan kawasan, keindahan alam, kenyamanan, aksesbilitas, nilai sejarah, kehendak politik dan aspirasi masyarakat (Pangerang, 2000).
Kawasan konservasi perairan yang dikembangkan di Indonesia saat ini berupa Suaka Alam Laut dan Kawasan Pelestarian Alam Laut. Suaka Alam laut adalah kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sedangkan berdasarkan fungsinya, Suaka Alam Laut dibedakan menjadi dua yaitu Cagar Alam Laut dan Suaka Marga Satwa Laut.
Pengertian konservasi menurut undang – undang ini adalah pengelolaan sumberdaya hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi dilakukan melalui kegiatan : (a) perlindungan system penyangga kehidupan, (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan (c) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 5).
Kawasan konservasi perairan yang terlindungi dengan baik, secara ekologis akan mengakibatkan beberapa hal berikut terkait dengan perikanan: (1) habitat yang lebih cocok dan tidak terganggu untuk pemijahan induk; (2) meningkatnya jumlah stok induk; (3) ukuran (body size) dari stok induk yang lebih besar; dan (4) larva dan recruit hasil reproduksi lebih banyak. Sebagai akibatnya, terjadi kepastian dan keberhasilan pemijahan pada wilayah kawasan konservasi. Keberhasilan pemijahan di dalam wilayah Kawasan Konservasi perairan dibuktikan memberikan dampak langsung pada perbaikan stok sumberdaya perikanan di luar wilayah kawasan konservasi laut (Gell & Robert, 2002; PISCO, 2002 dalam Dermawan,2008).
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Sepanjang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi sebagai suatu kesatuan ekosistem, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengatur penetapan status hukum kawasan lautnya. Secara khusus undang-undang ini memberikan wewenang kepada Menteri untuk menetapkan status suatu bagian laut tertentu sebagai kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, atau Suaka Perikanan. Penetapan status kawasan-kawasan laut tersebut bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber-sumber kekayaan alam hayati dan ekosistemnya.
Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Peraturan pemerintah ini ndemi kewenangan kepada Menteri (Kelautan dan Perikanan) untuk menetapkan Kawasan Konservasi Perairan yang terdiri atas taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan (Pasal 8).
Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya pada Direktorat Konseravsi dan Taman Nasional Laut bertujuan untuk Mewujudkan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetic dalam rangka menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragaman sumberdaya ikan (SDI) untuk kesejahteraan masyarakat. Sedangkan sasarannya adalah: (1) Terwujudnya pengembangan kawasan konseravsi perairan seluas 3,5 juta hektar; (2) Terlaksananya pengembangan konservasi jenis dan genetic di tiga wilayah biogeografi, sebanyak 4 jenis; (3) Terlaksananya rehabilitasi ekosistem sumberdaya ikan dan lingkungannya di 8 provinsi, 15 kabupaten dan 21 lokasi; (4) Pengembangan Unit Pelaksana Teknis (UPT) konservasi sumebrdaya ikan, sebanyak 2 UPT; (5) Terlaksananya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia konservasi sumberdaya ikan sebanyak 250 orang; dan (6) Tersusunnya peraturan, pedoman standar dan norma tentang konservasi sumberdaya ikan sebanyak 18 dokumen. Kegiatan pokok direktorat konservasi, antara lain: Pengembangan konservasi kawasan perairan; Pengembangan konservasi jenis dan genetik; Rehabilitasi sumberdaya ikan dan lingkungannya; dan Pengembangan kelembagaan, kapasitas sumberdaya manusia dan peraturan (Dermawan, dkk., 2008).











III. METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktek lapang ini dilaksanakan pada hari Minggu tangal 5 Desember 2009, pada pukul 08.00 – selesai yang bertempat di Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Pengamatan dilakukan dengan mengamati kriteria-kriteria atau parameter tipe kawasan konservasi.
B. Metode Pengamatan
Metode pengamatan adalah teknik pengambilan sample/mengamati/cara mendekati suatu objek/fakta untuk menggambarkan fakta secara representative untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai. Metode yang dapat dilakukan dalam melakukan praktek lapang konservasi Sumberdaya hayati perairan adalah data primer dengan cara observasi lapangan (Inventarisasi tumbuhan dan satwa) dan wawancara penduduk setempat dan data sekunder diperoleh melalui studi literatur (kepustakaan mengenai konsep ragam ragam hayati sumberdaya pesisir).
C. Analisis
Analisis parameter Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari, Sulawesi Tenggara adalah sebagai berikut :
1. Keterwakilan
Keterwakilan yang dimaksud adalah penilaian yang diberikan terhadap suatu kawasan perairan dengan melihat perbandingan antara jumlah ekosistem di lokasi tersebut dengan keseluruhan tipe ekosistem laut di sekitarnya. Misalnya berdasarkan hasil studi, tipe ekosistem yang berada di suatu kawasan adalah terumbu karang dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang cukup tinggi yang dinilai mewakili keseluruhan ekositem terumbu karang.
2. Keaslian
Nilai keasliaan diperoleh dengan menghitung persentase campur tangan manusia di suatu kawasan perairan. Contohnya suatu kawasan sudah banyak digunakan oleh masyarakat sekitar untuk kegiatan budidaya berarti sudah ada campur tangan manusia pada ekosistem tersebut.
3. Keunikan
Keunikan ditentukan oleh keberadaan jenis flora dan fauna di suatu wilayah, misalanya dengan kehadiran jenis-jenis tertentu yang jarang dijumpai di tempat lain.
4. Kelangkaan
Kelangkaan yang dimaksud adalah proporsi antara penyebaran jumlah jenis flora dan fauna di suatu perairan dengan jumlah flora dan fauna di sekitarnya. Misalnya terumbu karang merupakan tipe ekosistem khas ekosistem tropis karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga dapat diboboti dengan skor tinggi.
5. Laju Kepunahan
Laju kepunahan ditentukan berdasarkan pertimbangan jumlah jenis flora dan fauna dalam suatu ekosistem yang berubah pada periode tertentu. Di perairan tropis, terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang “flagile” sehingga tergolong dalam suatu ekosistem yang memiliki laju kepunahan cukup cepat jika mendapat gangguan dari manusia.
6. Keutuhan Ekosistem
Keutuhan ekositem yang dimaksud adalah pengamatan terhadap kelengkapan organisme penyusun ekosistem yang ada di suatu perairan. Kelengkapan yang dimaksud meliputi organisme penyusun rantai makan mulai pada tingkat produsen primer, konsumen tingkat pertama sampai mangsa, pemangsa, pengurai, dan top karnivor.
7. Keutuhan Kawasan
Parameter keutuhan kawasan dinilai dari persentase jenis atau kawasan yang telah dimanfaatkan oleh manusia terhadap keseluruhan sumberdaya hayati yang ada.
8. Luasan
Luasan yang dimaksud adalah wilayah jelajah (home range) dari luasan asosiasi/habitat flora dan fauna atau dengan kata lain merupakan luasan wilayah ekologis.
9. Keindahan Alam
Penilaian terhadap keindahan alam diperoleh berdasarkan pendapat penduduk setempat dan orang-orang yang pernah berkunjung ke lokasi yang akan dinilai

10. Kenyamanan Alam
Kenyamanan yang dimaksud adalah nilai yang diberikan oleh manusia terhadap suatu rasa kelapangan, ketentraman dan keamanan apabila berada di suatu tempat.
11. Aksesbilitas
Aksesbilitas yang dimaksud adalah kemudahan pencapaian ke suatu objek dengan memperhatikan ketersediaan prasarana dan sarana transportasi.
12. Nilai Sejarah
Nilai sejarah yang dimaksud adalah pertimbangan keberadaan benda-benda bersejarah atau nilai sejarah lainnya baik secara fisik maupun non fisik.
13. Kehendak Politik
Kehendak politik yang dimaksud adalah perhatian dan dukungan pemerintah mulai tingkat daerah sampai ke tingkat pusat terhadap pengembangan suatu objek.
14. Aspirasi Masyarakat
Aspirasi masyarakat yamng dimaksud adalah respon masyarakat terhadap pengembangan wilayahnya.




IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi
Pulau Bungkutoko merupakan salah satu pulau yang letaknya tepat dimuara teluk kendari. Secara administratif pulau ini termasuk dalam wilayah kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kotamadya Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan letak astronominya pulau Bungkutoko berada pada 3o58’29” LS-3o58’32” dan 122o35’57” BT-122o37’10”BT. Dengan letak geografis sebagai berikut :
 Sebelah utara berbatasan dengan Kel. Kasilampe
 Sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Kendari
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kel. Petoaha
 Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda.





Gambar 1. Perairan Pulau Bungkutoko
Pulau Bungkutoko memiliki daratan yang terdiri dari perbukitan yang membentang dari bagian Barat sampai bagian Selatan. Sedang bagian Timur dan Utara relativ rata. Luas wilayah daratan 500 Ha dengan ketinggian diatas permukaan laut bervariasi antara 0-30 m.
B. Pembahasan
a. Kebijakan dan Kawasan Konservasi
Keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan laut meliputi kenakearagaman genetik, spesies dan ekosistem. Pengertian kenakeragaman hayati dan nilai manfaatnya baik secara ekonomis, sosial, budaya, dan estetika perlu memperoleh perhatian serius agar strategi pengelolaan keanekaragaman hayati pesisir dan laut sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan kawasan konservasi perairan tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya ikan secara keseluruhan. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
Permasalahan dan bentuk ancaman yang sangat serius terhadap sektor perikanan dan kelautan, yang terkait dengan kelestarian sumberdaya hayati laut sebagai masalah utama dalam pengelolaan dan pengembangan konservasi perairan antara lain: (1) pemanfaatan berlebih (over exploitation) terhadap sumber daya hayati, (2) penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, (3) perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) pencemaran, (5) introduksi spesies asing, (6) konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan (7) perubahan iklim global serta bencana alam.
Dukungan kebijakan nasional dalam pengembangan kawasan konservasi perairan dibuat secara terpadu dengan memperhatikan proses pelaksanaannya. Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir semakin kuat dengan adanya beberapa undang-undang mengenai pengelolaan wilayah pesisir, konservasi sumberdaya hayati perairan. Dengan adanya undang-undang dan peraturan mengenai konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati perairan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat sebaliknya. Pelaksanaannya akan bersifat sinergis, apabila setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonomi menyadari arti penting dari pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila setiap daerah berlomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Sedangkan Payung kebijakan dalam konservasi sumberdaya ikan, telah ditetapkan peraturan pemerintah nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan sebagai organik dari UU 31 tahun 2004. Melalui peraturan pemerintah ini diharapkan segala urusan mengenai konservasi sumberdaya ikan dapat terwadahi.
Kebijakan mengenai konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam hayati menunjukkan prinsip-prinsip yang sangat mendasar antara keseimbangan, keselarasan dan keserasian sistem ekologi, sosial, ekonomi dan budaya. Pembangunan yang semata-mata menempatkan sistem dan fungsi ekonomi sebagai prioritas dan mengabaikan fungsi ekologi, sosial dan budaya akan menimbulkan masalah-masalah yang kompleks dan konflik sosial yang berkepanjangan. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan para stakeholders untuk membangun dan mengembangkan keseimbangan fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya harus dapat diwujudkandalam berbagai kebijakan maupun program pemerintah Kebijakan Departemen Kelautan dan Perikanan tertuang dalam visinya, yaitu Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang bertanggungjawab bagi Kesejahteraan Anak Bangsa.
b. Kawasan Perairan di Bungkutoko serta Potensinya
Hasil praktek lapangan di Bungkutoko mempunyai daratan yang terdiri dari perbukitan yang membentang dari bagian barat sampai bagian selatan. Sedangkan bagian timur dan utara relatif rata. Luas wilayah 2,25 km2 dengan kemiringan antara 1% - 5% dan memiliki pantai yang landai dengan dasar perairan berpasir, berlumpur dan pasir berbatu dimana vegetasi mangrove di pulau ini secara umum tumbuh pada substrat lumpur berpasir (Kantor Kelurahan Bungkutoko, 2009). Selanjutnya berdasarkan pengamatan terhadap ekosistem mangrove pulau Bungkutoko, konversi area mangrove menjadi lahan pertambakan, pemukiman, pembangunan dermaga katinting, pelabuhan kontainer dan pembangunan jembatan yang menghubungkan Nambo dan Bungkutoko, serta pemanfaatan pohon mangrove untuk kepentingan rumah tangga masyarakat, merupakan aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi fungsi ekosistem ini bila rehabilitasi dan prinsip pemanfaatan lestari tidak dilakukan dan diindahkan oleh masyarakat setempat dan pendatang.
Hasil praktek lapangan ini didapatkan kriteria ekonomi yang ada di Bungkutoko dari segi spesies yang dimanfaatkan terdiri dari nelayan budidaya dan nelayan tangkap. Nelayan budidaya memanfaatkan atau membudidayakan Ikan Kerapu tikus, Kerang Mabe dan Rumput laut sedangkan nelayan tangkap biasanya menangkap ikan Baronang, Ikan Putih, Ikan Katamba, cumi dan Kepiting. Dengan potensi wisata Bungkutoko yaitu pantai pasir putih, dimana wisata pantai pasir putih ini belum dikelola, hanya dimanfaatkan untuk sebagian keluarga saja dan tidak di pungut biaya. Sumber mata pencaharian yaitu 50 % berprofesi sebagai nelayan (tangkap dan budidaya), 30 % berprofesi sebagai pegawai negeri (guru dan karyawan) dan 20 % berprofesi sebagai wiraswasta (dagang, peternak dan penjahit).
Sedangkan kriteria ekologi di Bungkutoko yaitu jenis vegetasi pantai seperti jenis mangrove, jenis lamun dan jenis terumbu karang. Jenis mangrove di perairan Bungkutoko seperti Rhizopora Sp., Sonneratia alba, Bruguiera, Avicennia, Ceniops dan Nipa. Kebanyakan dari jenis ini telah mengalami penurunan kualitas karena banyaknya jenis mangrove yang rusak dan salah satu penyebabnya banyaknya limbah rumpon yang tersangkut di akar mangrove. Vegetasi mangrove ini tumbuh dan hidup di pinggir pantai secara berkelompok-kelompok dan di sebelah selatan tidak membentuk suatu kawasan hutan yang lebat kecuali di sebelah barat yang kawasan hutan mangrovenya agak lebih lebat sedangkan untuk di sebelah timur kawasan hutan mangrovenya tinggal sedikit. Jenis Lamun dari hasil pengamatan praktek lapangan kami yaitu Enhallus acoroides, Thallasia hemprichii, Cymodocea rotundata, Alga, Padina australis, Padina aminor, Halimeda opuntia, Halimeda makroloba, Sargassum hydrocatus dan ada dua jenis lamun lagi yang tidak kami ketahui jenisnya. Sedangkan jenis terumbu karang banyak dijumpai di daerah timur Bungkutoko dimana tempat tersebut juga memiliki potensi untuk wisata. Selain tumbuhan tersebut, di wilayah ini juga terdapat beberapa jenis burung laut yang berasosiasi dengan ekosistem yang terdapat di wilayah tersebut. Jenis-jenis burung laut tersebut adalah burung Blekok, Cerek dan Dara Laut Hitam.
Berikut ini adalah gambar berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang terdapat di perairan pantai desa Bungku Toko :
1. Mangrove yang terdapat di perairan pantai desa Bungku Toko yaitu :





Gambar 2. Sonneratia sp. dan Rhizophora sp.




2. Jenis lamun yang terdapat di perairan pantai desa Bungku Toko yaitu :







Gambar 3. Enhallus acoroides dan Cymodocea rotundata
3. Beberapa jenis burung laut yang terdapat di perairan pantai Desa Bungkutoko yaitu :






Gambar 4. Blekok, Cerek dan Dara Laut Hitam
c. Cara Pencapaian (Aksesibilitas)
Pulau Bongkotoko merupakan salah satu pulau yang letaknya berhadapan dengan Teluk Kendari yang merupakan alur pelayaran kapal-kapal yang datang dari luar wilayah Kendari. Untuk mencapai wilayah ini kita bisa menggunakan jalur darat maupun laut. Apabila menggunakan jalur darat kita menggunakan mobil atau kendaraan umum (carter) selama kurang 45 menit dari kota Kendari, apabila menggunakan speed boat (body) selama kurang dari 30 menit dari kota Kendari.
d. Kegiatan dan Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi saat ini, yaitu adanya pembangunan pelabuhan kontainer yang mengganggu sumberdaya dan ekosistem perairan yang terdapat di wilayah tersebut.
Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya perairan di wilayah ini yaitu kegiatan penangkapan beberapa jenis biota seperti ikan Baronang, Ikan Putih, Ikan Katamba, cumi dan Kepiting. Selain itu, masyarakat juga melakukan kegiatan budidaya Nelayan budidaya memanfaatkan atau membudidayakan pikan Kerapu tikus, Kerang Mabe dan Rumput laut.
e. Penentuan dan Penilaian Tipe Kawasan Konservasi Di Perairan Pantai Desa Bungkutoko
Tabel 1. Skor dan Bobot Nilai Kawasan Konservasi Perairan Pantai Desa Bungkutoko
No. PARAMETER FL FN KF LL CAL SML TNL TWAL
K SK K SK K SK K SK
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14. Keterwakilan
Keaslian
Keunikan
Kelangkaan
Laju Kepunahan
Keutuhan Ekosistem
Keutuhan Sumberdaya
Luasan
Keindahan Alam
Kenyamanan
Aksesibilitas
Nilai Sejarah
Kehendak Politik
Aspirasi Masyarakat 3
4
3
4
3
3
2
2
2 4
4
2
3
4
4
3
4
3








2
3
1












5
4 *
-
*
*
*
*
*
4
-
2
1
5
3
3
*
-
-
-
*
*
*
-
3
-
-
-
4
2
2
-
*
-
-

*
*
*
-
-
-
*
-
*
* 3
-
-

3
2
3
-
-
-
4
-
4
2 *
-
-




*
-
-
*
-
*
* 4
-
-




3
-
-
4
-
4
3
Nilai Bobot 18/7 11/8 21/13 18/9
Keterangan :
FL : Flora LL : Lainnya SML : Suaka Margasatwa
FN : Fauna SK : Skor TWAL : Taman Wisata Alam Laut
KF : Kondisi Fisik * : Ya TNL : Taman Nasional Laut
- : Tidak Memenuhi K : Kriteria CAL : Cagar Alam Laut
Syarat


Kesimpulan :
Berdasarkan kriteria penentuan kawasan konservasi di atas, maka nilai bobot untuk masing-masing kriteria kawasan konservasi adalah :
CAL : 18/7 atau 2,57
SML : 11/8 atau 1,37 CAL>TWAL>TNL>SML
TNL : 21/13 atau 1,61
TWAL : 18/9 atau 2
Dengan demikian maka lokasi perairan pantai Desa Bungkutoko lebih cocok untuk kegiatan Cagar Alam Laut (CAL). Sehingga segala kegiatan yang akan dilakukan di daerah Perairan pantai Desa Bungkutoko dan di perairan sekitarnya sebaiknya dikelola dengan konsep pengelolaan Cagar Alam Laut .
f. Penentuan Zonasi Di Daerah Perairan Pantai Desa Bungkutoko
Untuk penentuan zonasi di kawasan tersebut dibagi beberapa zona aktivitas diantaranya adalah :









Gambar 5. Rancangan Penentuan Zonasi di Perairan Pantai Bungkutoko



a. Zona Inti









Gambar 6. Rancangan Penentuan Zona Pemanfaatan di Perairan Pantai Bungkutoko
Berdasarkan peta lokasi di atas, dapat dilihat zona inti terletak di sebelah selatan dari Perairan Pantai Bungkutoko. Zona ini merupakan zona pusat dari perairan pantai Bungku Toko dimana di wilayah ini terdapat hutan mangrove yang kondisinya masih baik sehingga perlu dijaga dan dilindungi.
Di dalam hubungan zona inti dengan lingkungannya, area ini digolongankan sebagai area steril yang memiliki keterbatasan aksesibilitas dan aktivitas. Seluruh lahan di areal ini hanya diperkenankan untuk aktivitas yang berhubungan dengan eksplorasi. Akses ke area ini juga terbatas untuk publik dan dibatasi hanya pihak yang berkepentingan dengan aktivitas di atas yang dapat mengaksesnya.

b. Zona Penyangga









Gambar 7. Rancangan Penentuan Zona Penyangga di Perairan Pantai Bungkutoko
Zona ini berada di layer kedua dan berfungsi sebagai kawasan penyangga/buffer bagi kawasan inti. Zona penyangga di Perairan Pantai Bungkutoko terletak di sebelah barat. Di zona ini, juga masih terdapat tumbuhan mangrove. Sebagai kawasan penyangga, maka fungsi utamanya adalah dalam rangka mendukung produktivitas zona inti dengan melestarikan dan mempertahankan (conserve) lingkungan alam di kawasan ini.
Namun demikian, beberapa aktivitas tertentu masih memungkinkan untuk diletakan di zona ini. Aktivitas yang diperkenankan di zona ini adalah pemanfaatan alam yang sifatnya tidak memberikan perubahan fisik lingkungan alam seperti kegitan penelitian.


c. Zona Pemanfaatan








Gambar 8. Rancangan Penentuan Zona Pemanfaatan di Perairan Pantai Bungkutoko
Zona pemanfaatan terletak di sebelah Timur Perairan Pantai Bungkutoko. Di dalam zona ini, pemanfaatan dapat dilakukan dengan lebih leluasa dibandingkan dengan zona-zona sebelumnya. Sebagai wilayah yang terletak di bagian paling luar/depan, maka salah satu fungsinya yaitu sebagai jalur transportasi laut dan di wilayah ini juga sedang dilaksanakan pembangunan pelabuhan countainer. Selain itu, dalam pengembangan zona pemanfaatan ini kegiatan yang dapat dilakukan adalah kegiatan pariwisata. Pengembangan dan pengelola fasilitas-fasilitas yang berada di area ini dapat dikembangkan dengan kerjasama antar pemerintah, pihak swasta dan dengan keterlibatan masyarakat yang berada di wilayah perairan desa Bungku Toko.
Pengembangan pada wilayah ini harus dioptimalkan agar dapat memperbesar peluang usaha kegiatan wisata. Untuk menunjang kegiatan pariwisata ini, perlu adanya fasilitas-fasilitas yang member kenyamanan bagi para wisatawan seperti :
• Fasilitas Penunjang Wisata
Fasilitas penunjang wisata merupakan produk daya tarik wisata itu sendiri, dapat berupa aset fisik, iklim, kebudayaan, dan aset lainnya.
Sebuah objek wisata yang baik tentu harus pula dilengkapi dengan fasilitas penunjang wisata yang sesuai dengan objek wisata itu sendiri. Fasilitas penunjang wisata dapat berupa:
1. Akomodasi (hotel, penginapan, youth hostel, dsb)
2. Food and Beverage (restaurant, café,dsb)
3. Area komersil (pasar tradisional)
• Infrastruktur

Jenis-jenis infrastruktur yang dibutuhkan dalam kawasan wisata ini harus sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Kelengkapan infrastruktur sangat penting bagi untuk menunjang pengembangan pariwisata. Infrastruktur ini berupa :
1. Jalan raya
2. Jalur transportasi laut
3. Pelabuhan laut
4. Penyediaan air bersih
5. Saluran pembuangan (drainase)
6. Penyediaan tenaga listrik
7. Telekomunikasi (telepon)

• Hospitality
Selain hal-hal fisik seperti tersebut di atas, hal lain yang harus dipersiapkan adalah kesiapan masyarakat. Pembinaan masyarakat mengenai wawasan pariwisata, pengembangan hospitality masyarakat juga merupakan salah satu kunci penting dalam pengembangan pariwisata. Hal ini dapat dikembangkan dengan cara kelembagaan kepada masyarakat seperti:
• Penyuluhan mengenai kegiatan pariwisata dan keuntungannya bagi masyarakat.
• Pelatihan
Seperti yang kita ketahui bahwa zona pemanfaatan adalah kawasan yang didalamnya dapat dilakukan berbagai kegiatan pemanfaatan. Meskipun demikian, pengembangan dan pembangunan elemen fisik buatan di kawasan ini juga tetap mengedepankan aspek konservasi lingkungan alam. Zona ini memiliki sifat sangat publik dan dapat diakses publik dengan bebas. Aktivitas yang dapat diwadahi di kawasan ini pun lebih beragam dan fleksibel.






V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dan pembahasan pada praktek lapangan di Bungkutoko ini dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1. Bungkutoko mempunyai daratan yang terdiri dari perbukitan yang membentang dari bagian barat sampai bagian selatan. Sedangkan bagian timur dan utara relatif rata.
2. Penentuan zonasi di daerah perairan pantai desa Bungkutoko yaitu zona inti terletak di sebelah selatan, zona penyangga terletak di sebelah barat, dan zona pemanfaatan terletak di sebelah timur.
3. Tipe kawasan konservasi di perairan pantai desa Bungkutoko yang cocok yaitu cagar alam laut.
B. Saran
Ekosistem pesisir saat ini merupakan ekosistem yang sangat banyak mendapat perhatian dari berbagai stakeholder karena memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu, kita perlu menjaga dan melestarikan potensi kekayaan alam ini ekosistem tersebut diatas mengingat keberadaan dari ekosistem tersebut saat ini mulai mengalami kerusakan yang diakibatkan dengan pola pengelolaan wilayah perairan pantai yang tidak berkelanjutan.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Penuntun Praktek Konservasi Sumberdaya Hayati Perairan. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari.
Pangerang, U.K. 2000. Konservasi Sumberdaya Hayati Perairan. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.
Dermawan, A., A. Rusandi, D. Sutono, Suraji. 2008. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Mendukung Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan. Makalah Konferensi Nasional VI .Manado.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan