Jumat, 25 Maret 2011

KONSERVASI 2

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001), dimana dua pertiga dari keseluruhan wilayah Indonesia merupakan lautan yang diperkirakan seluas 5,8 juta km2. Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan alam hayati yang besar yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Salah satu potensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir dan kelautan Indonesia adalah sumberdaya ikan laut.
Potensi sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia 6,26 juta ton per tahun yang terdiri dan potensi di perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton pertahun dan perairan ZEEI sekitar 1,86 juta ton pertahun (Ditjen Perikanan Tangkap-DKP dan PKSPL-IPB, 2004). Potensi tersebut tersebar di sembilan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia, yaitu : Selat Malaka, Laut Natuna, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Selat Sunda, Laut Flores, Selat Makasar, Laut Banda, Laut Malaka, Teluk Tomini, Laut Seram, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, Laut Araftira dan Samudera Hindia.
Dengan potensi sumberdaya ikan laut yang begitu besar, maka ancaman terhadap sumberdaya ikan laut pun semakin besar. Dengan besarnya tekanan gangguan terhadap potensi sumberdaya ikan tersebut maka diperlukan suatu bentuk pengelolaan yang baik di wilayah perairan Indonesia khususnya di setiap wilayah yang memiliki potensi sumberdaya ikan laut yang cukup tinggi. Salah yang berada di sekitar wilayah perairan yang memiliki potensi cukup besar. Pengelolaan dengan melibatkan masyarakat merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumber daya alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Dimana diketahui masyarakat yang berada di sekitar wilayah perairan yang memiliki potensi sumberdaya ikan laut yang besar tentu akan lebih memperhatikan dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan dari potensi sumberdaya ikan laut yang berada di wilayah mereka. Selain itu, masyarakat di sekitar wilayah perairan yang memiliki potensi sumberdaya ikan laut yang besar akan lebih sadar untuk mengelola sumberdaya ikan laut dengan cara-cara yang lebih ramah lingkungan (pemanfaatan secara lestari).
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1. Memberikan gambaran mengenai potensi sumberdaya ikan laut yang berada di wilayah perairan Indonesia.
2. Menjelaskan permasalahan yang terjadi pada pemanfaatan potensi sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia.
Manfaat dari penulisan makalah ini ialah :
1. Mahasiswa dapat memahami potensi sumberdaya ikan laut yang ada di Indonesia.
2. Mahasiswa dapat mengetahui permasalahan yang terjadi pada pemanfaatan potensi sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia.

C. Perumusan Masalah
Banyaknya kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab seperti Illegal fishing, pencurian ikan, penangkapan ikan dengan menggunakan alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan menyebabkan rusaknya atau berkurang potensi sumberdaya perikanan di perairan Indonesia. Selain itu, pemanfaatan sumberdaya ikan laut secara bersama-sama yang dikenal dengan istilah Open Access banyak menimbulkan masalah kerusakan sumberdaya hayati laut, pencemaran, over-exploitation, dan konflik-konflik antar nelayan. Walaupun sumber daya ikan merupakan jenis sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), namun sumberdaya ikan tersebut mempunyai batas-batas tertentu sesuai dengan daya dukungnya (carrying capacity). Oleh karena itu, apabila pemanfaatannya dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan pengelolaan, maka akan terjadi kepunahan. Berkaitan dengan hal tersebut di ata, maka pengelolaan sumberdaya ikan merupakan hal sangat penting dan harus dilaksanakan secara terpadu dan terarah dengan melibatkan masyarakat. Pengelolaan perikanan (Fisheries Management) merupakan upaya yang sangat penting dalam mengantisipasi terjadinya permasalahan, baik ekologi maupun sosial ekonomi di wilayah pesisir dan laut.




II. PEMBAHASAN
A. Potensi Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia
Potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumberdaya perikanan pelagis besar (451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun), sumber daya perikanan demersal 3.163.630 ton/tahun, udang (100.720 ton/tahun), ikan karang (80.082 ton/tahun) dan cumi-cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara nasional potensi lestari perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48% (Dirjen Perikanan 1995). Data pada tahun 1998 menunjukkan bahwa produksi ikan laut adalah 3.616.140 ton dan hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan potensi laut baru mencapai 57,0% (Ditjen Perikanan 1999 dalam Susilo 2001). Pada tahun 2004, dilaporkan potensi sumberdaya ikan laut diperairan Indonesia 6,26 juta ton per tahun yang terdiri dan potensi di perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton pertahun dan perairan ZEEI sekitar 1,86 juta ton pertahun (Ditjen Perikanan Tangkap-DKP dan PKSPL-IPB, 2004). Potensi tersebut tersebar di sembilan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia, yaitu : Selat Malaka, Laut Natuna, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Selat Sunda, Laut Flores, Selat Makasar, Laut Banda, Laut Malaka, Teluk Tomini, Laut Seram, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, Laut Araftira dan Samudera Hindia. Sedangkan potensi lahan pertambakan diperkirakan seluas 866.550 Ha dan baru dimanfaatkan seluas 344.759 Ha (39,78%) bahkan bisa lebih tinggi lagi. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk peningkatan produksi dan produktivitas lahan. Keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan produksi perlu diatur sehingga bisa mendatangkan keuntungan bagi semua pihak dan pengelolaan yang bersifat ramah lingkungan dan lestari.
Pada usaha penangkapan ikan, perlu adanya peningkatan keterampilan bagi masyarakat dengan menggunakan teknologi baru yang efisien. Hal ini untuk mengantisipasi persaingan penangkapan oleh negara lain yang sering masuk ke perairan Indonesia dengan teknologi lebih maju. Usaha ini melibatkan semua pihak mulai dari masyarakat nelayan, pengusaha dan pemerintah serta pihak terkait lainnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah memberi pengertian pada masyarakat nelayan tentang bahaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak atau penggunaan racun.
Pada bidang pertambakan, disamping dilakukan secara ekstensifikasi, usaha peningkatan hasil pertambakan dalam bentuk intensifikasi. Hal ini jika dihubungkan dengan pengelolaan tambak di Indonesia pada umumnya masih tradisional. Dengan hasil produksi pertambakan Indonesia tahun 1998 berjumlah 585.900 ton yang merupakan nilai lebih dari 50% hasil kegiatan budidaya perikanan (Susilo 1999 dalam Ditjen Perikanan 1999). Keterlibatan masyarakat dalam bentuk pertambakan inti rakyat dimana perusahaan sebagai intinya dan masyarakat petambak sebagai plasma merupakan suatu konsep yang baik meskipun kadangkala dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Hubungan lainnya seperti kemitraan antara masyarakat petambak dengan pengusaha penyedia sarana produksi juga adalah salah satu model kemitraan yang perlu dikembangkan dan disempurnakan dimasa yang akan datang.

B. Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir
Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain adalah pencemaran, degradasi habitat, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan bencana alam.
a. Pencemaran
Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (DKP RI, 2002).
Masalah pencemaran ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS). Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai.
Pengembangan kota dan industri merupakan sumber bahan sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut. Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan jumlah sampah baik padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut yang sulit dikontrol. Sektor industri dan pertambangan yang menghasilkan limbah kimia (berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan lain-lain) yang dibuang dalam jumlah besar ke aliran sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut, terlebih bahan sianida yang terkenal dengan racun yang sangat berbahaya.
b. Kerusakan Fisik Habitat dari Organisme
Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan telah mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Hal ini terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut atau padang lamun. Kebanyakan rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan perikanan tambak mengakibatkan rusaknya habitat bagi organisme yang berasosiasi dengan wilayah tersebut seperti ikan, kepiting, dan lain-lain. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30 – 40 % dari jumlah seluruh hutan mangrove dunia Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71%), Sumatra (16 %), Kalimantan (9 %) dan Sulawesi ( 2,5 %). Namun akibat dari aktivitas manusia, pada tahun 1970 – 1980, luas hutan mangrove Indonesia berkurang sekitar 700.000 ha untuk penggunaan lahan lainnya (Nugroho dkk 2001).
Ekosistem lainnya yang mengalami kerusakan cukup parah di Indonesia adalah ekosistem terumbu karang. Dari berbagai hasil penelitian menggambarkan bahwa dari 24 lokasi terumbu karang yang ada di Indoneisia, 60 % berada dalam kondisi sangat baik, 22 % baik, 33,5 % sedang dan 39 % dalam keadaan rusak (Suharsono dan Sukarno, 1992 dalam Dahuri dkk 2001). Menurut Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1993) bahwa 14 % ekosistem terumbu karang di Indonesia sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, 46 % telah mengalami kerusakan, 33 % dalam keadaan baik, dan 7 % dalam keadaan sangat baik.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya terumbu karang antara lain adalah : (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, jalan, dan hiasan, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, racun, dan alat tangkap ikan tertentu, (3) pencemaran perairan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, (4) pengendapan dan peningkatan kekeruhan perairan akibat erosi tanah di darat, penggalian dan penambangan, (5) eksploitasi berlebihan sumber daya perikanan karang.
Ekosistem padang lamun secara khusus rentan terhadap degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Beberapa aktivitas manusia yang dapat mengrusak ekosistem padang lamun adalah (1) pengerukan dan pengurugan untuk pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri dan saluran navigasi, (2) pencemaran logam industri terutama logam berat, dan senyawa organoklorin, pembuangan sampah organik, pencemaran oleh limbah industri, pertanian, dan minyak (Bengen 2002).
c. Eksploitasi sumber daya secara berlebihan
Ada beberapa sumber daya perikanan yang telah dieksploitir secara berlebihan (overfishing), termasuk udang, ikan demersal, palagis kecil, dan ikan karang. Hal ini terjadi terutama di daerah-daerah dengan penduduk padat, misalnya di Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan. Menipisnya stok sumber daya tersebut, selain karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang baik secara langsung atau tidak merusak ekosistem dan lingkungan sehingga perkembangan sumber daya perikanan terganggu. Disamping itu, kurangnya apresiasi dan pengetahuan manusia untuk melakukan konservasi sumber daya perikanan, seperti udang, mangrove, terumbu karang, dan lain-lain.
d. Abrasi Pantai
Ada 2 faktor yang menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yaitu : (1) proses alami (karena gerakan gelombang pada pantai terbuka), (2) aktivitas manusia. Kegiatan manusia tersebut misalnya kegiatan penebangan hutan (HPH) atau pertanian di lahan atas yang tidak mengindahkan konsep konservasi telah menyebabkan erosi tanah dan kemudian sedimen tersebut dibawa ke aliran sungai serta diendapkan di kawasan pesisir. Aktivitas manusia lainya adalah menebang atau merusak ekosistem mangrove di garis pantai baik untuk keperluan kayu, bahan baku arang, maupun dalam rangka pembuatan tambak. Padahal menurut Bengen (2001, 2000) hutan magrove tersebut secara ekologis dapat berfungsi : (1) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur, dan penangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, (2) penghasil detritus (bahan makanan bagi udang, kepiting, dan lain-lain) dan mineral-mineral yang dapat menyuburkan perairan, (3) Sebagai daerah nurshery ground, feeding ground dan spawing ground bermacam biota perairan.
e. Konversi Kawasan Lindung ke Penggunaan Lainnya.
Dewasa ini banyak sekali terjadi pergeseran penggunaan lahan, misalnya dari lahan pertanian menjadi lahan industri, property, perkantoran, dan lain sebagainya yang terkadang kebijakan persegeran tersebut tanpa mempertimbangkan efek ekologi, tetapi hanya mempertimbangkan keuntungan ekonomi jangka pendek. Demikian juga halnya yang terjadi di wilayah pesisir, banyak terjadi pergeseran lahan pesisir dan bahkan kawasan lindung sekalipun menjadi lahan pemukiman, industri, pelabuhan, perikanan tambak, dan parawisata. Akibatnya terjadi kerusakan ekosistem di sekitar pesisir, terutama ekosistem mangrove. Jika ekosistem mangrove rusak dan bahkan punah, maka hal yang akan terjadi adalah (1) regenerasi stok ikan dan udang terancam, (2) terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh hutan mangrove, (3) pedangkalan perairan pantai, (4) erosi garis pantai dan intrusi garam.
f. Bencana Alam
Bencana alam merupakan kejadian alami yang berdampak negatif pada sumber daya pesisir dan lautan diluar kontrol manusia. Beberapa macam bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir dan merusak lingkungan pesisir antara lain adalah kenaikan muka laut, gelombang pasang tsunami, dan radiasi ultra violet.
C. Peraturan Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pengelolaan perikanan di laut lepas menjadi obyek pengaturan dari konvensi tentang perikanan dan konservasi Sumberdaya Hayati di Laut Lepas (Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas) yang merupakan salah satu dari empat Konvensi Jenewa 1958. Dalam konvensi ini ditetapkan bahwa semua Negara mempunyai hak bagi warga negaranya untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas serta setiap negara juga mempunyai kewajiban untuk melakukan konservasi di laut lepas tersebut.
Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS) yang membagi pengelolaan perikanan pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan laut lepas. Pada Konferensi PBB ke-lll tentang Hukum Laut tahun 1973-1982, masalah pengaturan ZEE adalah salah satu isu yang banyak dibahas dan diwarnai perbedaan pendapat. Ini dikarenakan ZEE sebagai rezirn baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam hukum laut, dimana pengaturannya menimbulkan perubahan mendasar dalam pembagian tradisional antara laut territorial yang merupakan zona kedaulatan negara pantai dan laut lepas yang sifatnya terbuka untuk semua Negara (Anwar, 1995). Secara ringkas, tujuan konservasi sumber daya perikanan dari ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 di ZEE, yaitu (Anwar, 1995) :
1. Menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan.
2. Pemeliharaan sumberdaya hayati di ZEE.
3. Bahwa populasi dari spesies yang ditangkap, dipelihara sedemikian rupa atau dikembalikan pada tingkat yang dapat menghasilkan tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield).
Dengan demikian jelas bahwa hak-hak berdaulat Negara pantai atas sumberdaya hayati di ZEE harus diimbangi dengan kewajiban Negara pantai untuk melakukan upaya konservasi. Selain itu, pasal 62 Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur kerjasama penangkapan ikan di wilayah ZEE, apabila suatu Negara pantai tidak mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan memperhatikan terlebih dahulu Negara yang tidak berpantai (Land-Locked State) dan Negara yang kurang beruntung (Geographically Disadvantage State). Sementara itu dalam pasal 63 Konvensi Hukum Laut 1982 disebutkan bahwa dalam melaksanakan hak-hak berdaulatnya (Sovereign Rights) dalam melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan di ZEE, Negara pantai dapat melakukan penegakkan hukum seperti menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan. Selain itu disebutkan juga bahwa semua negara mempunyai hak bagi warga negaranya untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas dengan tunduk pada kewajibannya berdasarkan perjanjian internasional, serta mereka juga harus tunduk pada hak, dan kewajiban maupun kepentingan Negara pantai (pasal 116 Konvensi Hukum Laut 1982). Negara-negara tersebut juga mempunyai kewajiban untuk mengambil tindakan konservasi sumberdaya hayati. Tidak rincinya pengaturan perikanan di laut lepas pada Konvensi Hukum Laut 1982 disebabkan sekitar 90 % dari jumlah keseluruhan tangkapan ikan dunia berasal dari perairan yang berada di bawah rezim zona ekonomi eksklusif (Koers, 1994).
Aturan internasional lain yang terkait dengan pengelolaan perikanan yang perlu dicermati adalah Code of Conduct for responsible Fisheries (CCRF). Menurut dokumen FAO ini, setiap Negara harus mengadopsi pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan yang tepat berdasarkan bukti dan fakta ilmiah yang tersedia. Selain itu, pendekatan harus diarahkan untuk mempertahankan atau memulihkan stok ikan di laut pada tingkat kemampuan maksimum menghasilkan ikan tanpa merusak lingkungan dan mengganggu stabilitas ekonomi. Pendekatan yang berkaitan dengan teknik penangkapan, yaitu ukuran ikan, ukuran mata jaring atau alat tangkap, penutupan musim tangkapan, dan wilayah pengelolaan perikanan tertentu termasuk juga perlindungan terhadap juvenil (larva ikan) dan daerah pemijahan ikan (Pasal 7 CCRF 1995).
Mengenai pengelolaan perikanan oleh organisasi regional, pasal 7 CCRF juga memerintahkan untuk dibentuknya kerjasama organisasi bilateral, organisasi subregional dan organisasi regional yang berguna untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan yang ikan-ikannya bersifat lintas batas (Tramboundary fish), ikan yang bergerak di dua wilayah (straddling fish), ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory) dan ikan yang berada dilaut lepas (high seas).
D. Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Mempertimbangkan karakteristik masyarakat pesisir, khususnya nelayan sebagai komponen yang paling banyak, serta cakupan atau batasan pemberdayaan maka sudah tentu pemberdayaan nelayan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Nikijuluw (1994), adalah pembangunan dengan memiliki cirri-ciri (1) berbasis lokal; (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan; (3) berbasis kemitraan; (4) secara holistik; dan (5) berkelanjutan.
Pembangunan berbasis lokal adalah bahwa pembangunan itu bukan saja dilakukan setempat tetapi juga melibatkan sumber daya lokal sehingga akhirnya return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Dengan demikian maka prinsip daya saing komparatif akan dilaksanakan sebagai dasar atau langkah awal untuk mencapai daya saing kompetitif. Pembangunan berbasis lokal tidak membuat penduduk lokal sekedar penonton dan pemerhati di luar sistem, tetapi melibatkan mereka dalam pembangunan itu sendiri.
Pembangunan yang berorientasi kesejahteraan menitikberatkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi. Ini merubah prinsip-prinsip yang dianut selama ini yaitu bahwa pencapaian pembangunan lebih diarahkan pemenuhan target-target variable ekonomi makro. Pembangunan komprehensif yang diwujudkan dalam bentuk usaha kemitraan yang mutualistis antara orang lokal (orang miskin) dengan orang yang lebih mampu. Kemitraan akan membuka akses orang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik, serta pergaulan bisnis yang lebih luas.
Pembangunan secara holistik dalam pembangunan mencakup semua aspek. Untuk itu setiap sumber daya lokal patut diketahui dan didayagunakan. Kebanyakan masyarakat pesisir memang bergantung pada kegiatan sektor kelautan (perikanan), tetapi itu tidak berarti bahwa semua orang harus bergantung pada perikanan. Akibat dari semua orang menggantungkan diri pada perikanan yaitu kemungkinan terjadinya degradasi sumber daya ikan, penurunan produksi, kenaikan biaya produksi, penurunan pendapatan dan penurunan kesejahteraan.
Pembangunan yang berkelanjutan mencakup juga aspek ekonomi dan sosial. Keberlanjutan ekonomi berarti bahwa tidak ada eksploitasi ekonomi dari pelaku ekonomi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam kaitannya ini maka perlu ada kelembagaan ekonomi yang menyediakan, menampung dan memberikan akses bagi setiap pelaku. Keberlanjutan sosial berarti bahwa pembangunan tidak melawan, merusak dan atau menggantikan system dan nilai sosial yang positif yang telah teruji sekian lama dan telah dipraktekkan oleh masyarakat (Latama, 2008).
E. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
Menurut Latama (2008), dalam rangka mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang berbasis masyarakat diperlukan beberapa proses pengelolaan yang sesuai dengan tahapan manajemen yaitu mulai dari perencanan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Tahapan proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat tetap mengacu kepada proses perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan lautan

Gambar 1. Skema Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
1. Tahap Perencanaan
Tahap awal dari proses perencanaan adalah dengan cara mengidentifikasi dan mendefinisikan isu dan permasalahan yang ada, yang menyangkut kerusakan sumber daya alam (ekosistem), konflik penggunaan, pencemaran, dimana perlu dilihat penyebab dan sumber permasalahan tersebut khususnya untuk sumberdaya perikanan laut. Selanjutnya juga perlu diperhatikan sumber daya alam dan ekosistem yang ada yang menyangkut potensi, daya dukung, status, tingkat pemanfaatan, kondisi sosial ekonomi dan budaya setempat seperti jumlah dan kepadatan penduduk, keragaman suku, jenis mata pencaharian masyarakat lokal, sarana dan prasarana ekonomi dan lain-lain. Berdasarkan pendefinisian masalah yang dipadukan dengan informasi tentang sumber daya alam dan ekosistem serta aspirasi masyarakat selanjutnya disusun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Berdasarkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai serta melihat peluang dan kendala yang ada selanjutnya mulai dibuat perencanaan berupa kegiatan pembangunan dalam bentuk program dan proyek. Perencanaan yang telah disusun perlu disosialisasikan kembali kepada masyarakat luas untuk mendapat persetujuan, setelah mendapat pesetujuan rencana ini baru dimasukkan dalam agenda pembangunan baik daerah maupun nasional.
Dalam penyusunan rencana pengelolaan ini, perlu juga diperhatikan bahwa konsep pengelolaan sumber daya pesisir terpadu berbasis masyarakat diharapkan akan mampu untuk (1) meningkatkan kesadaran masyarakat, akan pentingnya SDA dalam menunjang kehidupan mereka (2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan dan (3) meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan (Zamani dan Darmawan, 2000).
2. Tahap Pelaksanaan (Implementasi) Rencana
Pada tahap implementasi perencanaan, diperlukan kesiapan dari semua pihak yang terlibat didalamnya, seperti masyarakat itu sendiri, tenaga pendamping lapangan dan pihak lainnya. Selain itu juga diperlukan koordinasi dan keterpaduan antar sektor dan stakeholder yang ada sehingga tidak terjadi tumpang tindih kepentingan dan ego sektoral. Dalam hal ini diperlukan adanya lembaga pelaksana yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah, masyarakat lokal, Investor/swasta, instansi sektoral, Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pada tahap implementasi ini juga diperlukan kesamaan persepsi antara masyarakat lokal dengan lembaga atau orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ini sehingga masyarakat benar-benar memahami rencana yang akan dilaksanakan. Menurut Zamani dan Darmawan (2000) kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan pada tahap implementasi ini adalah: (1) integrasi ke dalam masyarakat, dengan melakukan pertemuan dengan masyarakat untuk menjawab seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan penerapan konsep dan mengidentifikasi pemimpin potensial yang terdapat di lembaga masyarakat lokal. (2) pendidikan dan pelatihan masyarakat, metoda pendidikan dapat dilakukan secara non formal menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan cara tatap muka sehingga dapat diperoleh informasi dua arah dan pengetahuan masyarakat lokal (indigenous knowledge) dapat dikumpulkan untuk dimasukkan dalam konsep penerapan (3) memfasilitasi arah kebijakan, dalam hal ini segenap kebijakan yang berasal dari masyarakat dan telah disetujui oleh koordinator pelaksana hendaknya dapat didukung oleh pemerintah daerah, sehingga kebijakan bersama tersebut mempunyai kekuatan hukum yang jelas, dan (4) penegakan hukum dan peraturan, yang dimaksudkan agar seluruh pihak yang terlibat akan dapat menyesuaikan tindakannya dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
3. Tahap Monitoring dan Evaluasi
Monitoring yang dilakukan sejak dimulainya proses implementasi perencanaan dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas kegiatan, permasalahan yang timbul dalam implementasi kegiatan. Monitoring dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang ada. Setelah monitoring selanjutnya dilakukan evaluasi bersama secara terpadu dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Melalui evaluasi ini akan diketahui kelemahan dan kelebihan dari perencanaan yang ada guna perbaikan untuk pelaksanaan tahap berikutnya.
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu berbasis masyarakat sesuai dengan prinsip Ko-manajemen perikanan yaitu pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan. Oleh sebab itu keberhasilan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat dapat mengacu kepada indikator keberhasilan pengelolaan perikanan.

III. PENUTUP
Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan salah satu bentuk pendekatan terhadap pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya ikan laut, selain itu pengelolaan berbasis masyarakat juga mdapat meningkatkan partisipasi, rasa memiliki serta tanggung jawab masyarakat yang mendiami wilyaha-wilayah yang memiliki potensi sumberdaya ikanlaut yang cukup besar.

















DAFTAR PUSTAKA
Solihin, Ahmad. 2006. Konteks Otonomi dan Globalisasi Lingkungan. Majalah Cakrawala TNI-AL.

Koers, Albert. 1994. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut : Suatu Ringkasan. Gadjah Mada Univ Press . Yogyakarta.
Latama, G., dkk. 2008. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Zamani, N.P dan Darmawan, 2000. Pengelolaan Sumber daya Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor 21 – 26 Februari 2000. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.

















I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum konsevasi adalah kegiatan pemeliharaan dan perlindungan sumberdaya secara sistematik untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan. Dari pengertian tersebut, orang sering salah menganggap bahwa kegiatan konservasi sumberdaya alam hanya merupakan tindakan perlindungan semata-mata. Padahal tujuan dari kegiatan konservasi adalah melakukan kegiatan perlindungan sumberdaya untuk tujuan pemanfaatan (Anonim, 2007). Pada prinsipnya kegiatan konservasi ditujukan untuk mempertahankan komponen-komponen alami yang kokoh, tetapi sebagian wilayah atau komponen lingkungan tersebut digunakan untuk kepentingan ekonomi (Koeswardhono, 1992).
Konservasi merupakan kegiatan pemiliharaan dan perlindungan sumberdaya secara sistematik untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan. Banyak ahli lingkungan memberikan defenisi konservasi menurut sudut pandang ilmunya masing-masing. Namun pada prinsipnya kegiatan konservasi ditujukan untuk mempertahankan komponen-komponen alami yang kokoh, tetapi sebagian wilayah atau komponen lingkungan tersebut digunakan untuk kepentingan ekonomi (Koeswardhono, 1992 dalam Utama, 2000). Sementara itu dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1997 bahwa konservasi sumberdaya alam didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya yang menjamin pemanfaatannya secara berkesinambungan dan bagi sumberdaya terbaharui menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai keanekaragamannya.
Sejalan dengan pembangunan yang berkelanjutan terutama terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan dan habitatnya, perlu dilakukan upaya pelestarian sumberdaya ikan dan habitatnya melalui pembentukan konservasi perairan. Bentuk kawasan konservasi perairan berdasarkan Undang – undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 adalah suaka perikanan (Pasal 7 Ayat 1). Suaka perikanan didefenisikan sebagai kawasan perairan tertentu dengan kondisi dan ciri tertentu yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. Upaya konservasi atau perlindungan yang dilakukan adalah rangka pengelolaan sumberdaya ikan dan habitatnya untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan berkesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pengembangan kawasan konservasi perairan di Sulawesi Tenggara merupakan kebutuhan yang sangat penting khususnya di Bungkutoko memiliki topografi yang sangat unik dan khas kepulauan yaitu daratan kecil yang dikelilingi dengan lautan.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dan manfaat dari praktek lapangan konservasi wilayah pesisir dan laut ini adalah untuk mengatahui kawasan konservasi yang ada di suatu wilayah, serta mengetahui kriteria kawasan konservasi.
Kegunaan dari praktek lapang ini adalah agar para praktikan dapat mengetahui dan memahami bentuk dan kriteria dari kawasan konservasi laut pada wilayah pesisir pantai pantai Pulau Bugkutoko.















II. TINJAUAN PUSTAKA
Undang – undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang –undang ini mengatur semua aspek yang berkaitan dengan konservasi, baik ruang maupun sumberdaya alamnya, sebagaimana ditegaskan dalam bagian penjelasannya, bahwa undang – undang ini bertujuan “untuk mengatur perlindungan system penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan manusia”. Pasal 1 angka 7 : “Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat,dan atau di air laut, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia”. Penjelasan Pasal 1 angka 7 : “Ikan dan ternak termaksuk di dalam pengertian satwa liar, tetapi termasuk di dalam satwa”.
Kawasan perlindungan alam laut terdiri atas Taman Nasional Laut dan Taman Wisata Alam Laut. Taman Nasional Laut merupakan kawasan pelestarian alam laut yang memiliki ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi guna untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan Taman Wisata Alam Laut merupakan kawasan pelestarian alam laut yang pemanfaatan utamanya adalah untuk pariwisata dan rekreasi. Untuk itu digunakan sembilan kriteria yaitu, keaslian, keunikan, luasan kawasan, keindahan alam, kenyamanan, aksesbilitas, nilai sejarah, kehendak politik dan aspirasi masyarakat (Pangerang, 2000).
Kawasan konservasi perairan yang dikembangkan di Indonesia saat ini berupa Suaka Alam Laut dan Kawasan Pelestarian Alam Laut. Suaka Alam laut adalah kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sedangkan berdasarkan fungsinya, Suaka Alam Laut dibedakan menjadi dua yaitu Cagar Alam Laut dan Suaka Marga Satwa Laut.
Pengertian konservasi menurut undang – undang ini adalah pengelolaan sumberdaya hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi dilakukan melalui kegiatan : (a) perlindungan system penyangga kehidupan, (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan (c) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 5).
Kawasan konservasi perairan yang terlindungi dengan baik, secara ekologis akan mengakibatkan beberapa hal berikut terkait dengan perikanan: (1) habitat yang lebih cocok dan tidak terganggu untuk pemijahan induk; (2) meningkatnya jumlah stok induk; (3) ukuran (body size) dari stok induk yang lebih besar; dan (4) larva dan recruit hasil reproduksi lebih banyak. Sebagai akibatnya, terjadi kepastian dan keberhasilan pemijahan pada wilayah kawasan konservasi. Keberhasilan pemijahan di dalam wilayah Kawasan Konservasi perairan dibuktikan memberikan dampak langsung pada perbaikan stok sumberdaya perikanan di luar wilayah kawasan konservasi laut (Gell & Robert, 2002; PISCO, 2002 dalam Dermawan,2008).
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Sepanjang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi sebagai suatu kesatuan ekosistem, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengatur penetapan status hukum kawasan lautnya. Secara khusus undang-undang ini memberikan wewenang kepada Menteri untuk menetapkan status suatu bagian laut tertentu sebagai kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, atau Suaka Perikanan. Penetapan status kawasan-kawasan laut tersebut bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber-sumber kekayaan alam hayati dan ekosistemnya.
Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Peraturan pemerintah ini ndemi kewenangan kepada Menteri (Kelautan dan Perikanan) untuk menetapkan Kawasan Konservasi Perairan yang terdiri atas taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan (Pasal 8).
Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya pada Direktorat Konseravsi dan Taman Nasional Laut bertujuan untuk Mewujudkan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetic dalam rangka menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragaman sumberdaya ikan (SDI) untuk kesejahteraan masyarakat. Sedangkan sasarannya adalah: (1) Terwujudnya pengembangan kawasan konseravsi perairan seluas 3,5 juta hektar; (2) Terlaksananya pengembangan konservasi jenis dan genetic di tiga wilayah biogeografi, sebanyak 4 jenis; (3) Terlaksananya rehabilitasi ekosistem sumberdaya ikan dan lingkungannya di 8 provinsi, 15 kabupaten dan 21 lokasi; (4) Pengembangan Unit Pelaksana Teknis (UPT) konservasi sumebrdaya ikan, sebanyak 2 UPT; (5) Terlaksananya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia konservasi sumberdaya ikan sebanyak 250 orang; dan (6) Tersusunnya peraturan, pedoman standar dan norma tentang konservasi sumberdaya ikan sebanyak 18 dokumen. Kegiatan pokok direktorat konservasi, antara lain: Pengembangan konservasi kawasan perairan; Pengembangan konservasi jenis dan genetik; Rehabilitasi sumberdaya ikan dan lingkungannya; dan Pengembangan kelembagaan, kapasitas sumberdaya manusia dan peraturan (Dermawan, dkk., 2008).











III. METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktek lapang ini dilaksanakan pada hari Minggu tangal 5 Desember 2009, pada pukul 08.00 – selesai yang bertempat di Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Pengamatan dilakukan dengan mengamati kriteria-kriteria atau parameter tipe kawasan konservasi.
B. Metode Pengamatan
Metode pengamatan adalah teknik pengambilan sample/mengamati/cara mendekati suatu objek/fakta untuk menggambarkan fakta secara representative untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai. Metode yang dapat dilakukan dalam melakukan praktek lapang konservasi Sumberdaya hayati perairan adalah data primer dengan cara observasi lapangan (Inventarisasi tumbuhan dan satwa) dan wawancara penduduk setempat dan data sekunder diperoleh melalui studi literatur (kepustakaan mengenai konsep ragam ragam hayati sumberdaya pesisir).
C. Analisis
Analisis parameter Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari, Sulawesi Tenggara adalah sebagai berikut :
1. Keterwakilan
Keterwakilan yang dimaksud adalah penilaian yang diberikan terhadap suatu kawasan perairan dengan melihat perbandingan antara jumlah ekosistem di lokasi tersebut dengan keseluruhan tipe ekosistem laut di sekitarnya. Misalnya berdasarkan hasil studi, tipe ekosistem yang berada di suatu kawasan adalah terumbu karang dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang cukup tinggi yang dinilai mewakili keseluruhan ekositem terumbu karang.
2. Keaslian
Nilai keasliaan diperoleh dengan menghitung persentase campur tangan manusia di suatu kawasan perairan. Contohnya suatu kawasan sudah banyak digunakan oleh masyarakat sekitar untuk kegiatan budidaya berarti sudah ada campur tangan manusia pada ekosistem tersebut.
3. Keunikan
Keunikan ditentukan oleh keberadaan jenis flora dan fauna di suatu wilayah, misalanya dengan kehadiran jenis-jenis tertentu yang jarang dijumpai di tempat lain.
4. Kelangkaan
Kelangkaan yang dimaksud adalah proporsi antara penyebaran jumlah jenis flora dan fauna di suatu perairan dengan jumlah flora dan fauna di sekitarnya. Misalnya terumbu karang merupakan tipe ekosistem khas ekosistem tropis karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga dapat diboboti dengan skor tinggi.
5. Laju Kepunahan
Laju kepunahan ditentukan berdasarkan pertimbangan jumlah jenis flora dan fauna dalam suatu ekosistem yang berubah pada periode tertentu. Di perairan tropis, terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang “flagile” sehingga tergolong dalam suatu ekosistem yang memiliki laju kepunahan cukup cepat jika mendapat gangguan dari manusia.
6. Keutuhan Ekosistem
Keutuhan ekositem yang dimaksud adalah pengamatan terhadap kelengkapan organisme penyusun ekosistem yang ada di suatu perairan. Kelengkapan yang dimaksud meliputi organisme penyusun rantai makan mulai pada tingkat produsen primer, konsumen tingkat pertama sampai mangsa, pemangsa, pengurai, dan top karnivor.
7. Keutuhan Kawasan
Parameter keutuhan kawasan dinilai dari persentase jenis atau kawasan yang telah dimanfaatkan oleh manusia terhadap keseluruhan sumberdaya hayati yang ada.
8. Luasan
Luasan yang dimaksud adalah wilayah jelajah (home range) dari luasan asosiasi/habitat flora dan fauna atau dengan kata lain merupakan luasan wilayah ekologis.
9. Keindahan Alam
Penilaian terhadap keindahan alam diperoleh berdasarkan pendapat penduduk setempat dan orang-orang yang pernah berkunjung ke lokasi yang akan dinilai

10. Kenyamanan Alam
Kenyamanan yang dimaksud adalah nilai yang diberikan oleh manusia terhadap suatu rasa kelapangan, ketentraman dan keamanan apabila berada di suatu tempat.
11. Aksesbilitas
Aksesbilitas yang dimaksud adalah kemudahan pencapaian ke suatu objek dengan memperhatikan ketersediaan prasarana dan sarana transportasi.
12. Nilai Sejarah
Nilai sejarah yang dimaksud adalah pertimbangan keberadaan benda-benda bersejarah atau nilai sejarah lainnya baik secara fisik maupun non fisik.
13. Kehendak Politik
Kehendak politik yang dimaksud adalah perhatian dan dukungan pemerintah mulai tingkat daerah sampai ke tingkat pusat terhadap pengembangan suatu objek.
14. Aspirasi Masyarakat
Aspirasi masyarakat yamng dimaksud adalah respon masyarakat terhadap pengembangan wilayahnya.




IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi
Pulau Bungkutoko merupakan salah satu pulau yang letaknya tepat dimuara teluk kendari. Secara administratif pulau ini termasuk dalam wilayah kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kotamadya Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan letak astronominya pulau Bungkutoko berada pada 3o58’29” LS-3o58’32” dan 122o35’57” BT-122o37’10”BT. Dengan letak geografis sebagai berikut :
 Sebelah utara berbatasan dengan Kel. Kasilampe
 Sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Kendari
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kel. Petoaha
 Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda.





Gambar 1. Perairan Pulau Bungkutoko
Pulau Bungkutoko memiliki daratan yang terdiri dari perbukitan yang membentang dari bagian Barat sampai bagian Selatan. Sedang bagian Timur dan Utara relativ rata. Luas wilayah daratan 500 Ha dengan ketinggian diatas permukaan laut bervariasi antara 0-30 m.
B. Pembahasan
a. Kebijakan dan Kawasan Konservasi
Keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan laut meliputi kenakearagaman genetik, spesies dan ekosistem. Pengertian kenakeragaman hayati dan nilai manfaatnya baik secara ekonomis, sosial, budaya, dan estetika perlu memperoleh perhatian serius agar strategi pengelolaan keanekaragaman hayati pesisir dan laut sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan kawasan konservasi perairan tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya ikan secara keseluruhan. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
Permasalahan dan bentuk ancaman yang sangat serius terhadap sektor perikanan dan kelautan, yang terkait dengan kelestarian sumberdaya hayati laut sebagai masalah utama dalam pengelolaan dan pengembangan konservasi perairan antara lain: (1) pemanfaatan berlebih (over exploitation) terhadap sumber daya hayati, (2) penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, (3) perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) pencemaran, (5) introduksi spesies asing, (6) konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan (7) perubahan iklim global serta bencana alam.
Dukungan kebijakan nasional dalam pengembangan kawasan konservasi perairan dibuat secara terpadu dengan memperhatikan proses pelaksanaannya. Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir semakin kuat dengan adanya beberapa undang-undang mengenai pengelolaan wilayah pesisir, konservasi sumberdaya hayati perairan. Dengan adanya undang-undang dan peraturan mengenai konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati perairan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat sebaliknya. Pelaksanaannya akan bersifat sinergis, apabila setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonomi menyadari arti penting dari pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila setiap daerah berlomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Sedangkan Payung kebijakan dalam konservasi sumberdaya ikan, telah ditetapkan peraturan pemerintah nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan sebagai organik dari UU 31 tahun 2004. Melalui peraturan pemerintah ini diharapkan segala urusan mengenai konservasi sumberdaya ikan dapat terwadahi.
Kebijakan mengenai konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam hayati menunjukkan prinsip-prinsip yang sangat mendasar antara keseimbangan, keselarasan dan keserasian sistem ekologi, sosial, ekonomi dan budaya. Pembangunan yang semata-mata menempatkan sistem dan fungsi ekonomi sebagai prioritas dan mengabaikan fungsi ekologi, sosial dan budaya akan menimbulkan masalah-masalah yang kompleks dan konflik sosial yang berkepanjangan. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan para stakeholders untuk membangun dan mengembangkan keseimbangan fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya harus dapat diwujudkandalam berbagai kebijakan maupun program pemerintah Kebijakan Departemen Kelautan dan Perikanan tertuang dalam visinya, yaitu Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang bertanggungjawab bagi Kesejahteraan Anak Bangsa.
b. Kawasan Perairan di Bungkutoko serta Potensinya
Hasil praktek lapangan di Bungkutoko mempunyai daratan yang terdiri dari perbukitan yang membentang dari bagian barat sampai bagian selatan. Sedangkan bagian timur dan utara relatif rata. Luas wilayah 2,25 km2 dengan kemiringan antara 1% - 5% dan memiliki pantai yang landai dengan dasar perairan berpasir, berlumpur dan pasir berbatu dimana vegetasi mangrove di pulau ini secara umum tumbuh pada substrat lumpur berpasir (Kantor Kelurahan Bungkutoko, 2009). Selanjutnya berdasarkan pengamatan terhadap ekosistem mangrove pulau Bungkutoko, konversi area mangrove menjadi lahan pertambakan, pemukiman, pembangunan dermaga katinting, pelabuhan kontainer dan pembangunan jembatan yang menghubungkan Nambo dan Bungkutoko, serta pemanfaatan pohon mangrove untuk kepentingan rumah tangga masyarakat, merupakan aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi fungsi ekosistem ini bila rehabilitasi dan prinsip pemanfaatan lestari tidak dilakukan dan diindahkan oleh masyarakat setempat dan pendatang.
Hasil praktek lapangan ini didapatkan kriteria ekonomi yang ada di Bungkutoko dari segi spesies yang dimanfaatkan terdiri dari nelayan budidaya dan nelayan tangkap. Nelayan budidaya memanfaatkan atau membudidayakan Ikan Kerapu tikus, Kerang Mabe dan Rumput laut sedangkan nelayan tangkap biasanya menangkap ikan Baronang, Ikan Putih, Ikan Katamba, cumi dan Kepiting. Dengan potensi wisata Bungkutoko yaitu pantai pasir putih, dimana wisata pantai pasir putih ini belum dikelola, hanya dimanfaatkan untuk sebagian keluarga saja dan tidak di pungut biaya. Sumber mata pencaharian yaitu 50 % berprofesi sebagai nelayan (tangkap dan budidaya), 30 % berprofesi sebagai pegawai negeri (guru dan karyawan) dan 20 % berprofesi sebagai wiraswasta (dagang, peternak dan penjahit).
Sedangkan kriteria ekologi di Bungkutoko yaitu jenis vegetasi pantai seperti jenis mangrove, jenis lamun dan jenis terumbu karang. Jenis mangrove di perairan Bungkutoko seperti Rhizopora Sp., Sonneratia alba, Bruguiera, Avicennia, Ceniops dan Nipa. Kebanyakan dari jenis ini telah mengalami penurunan kualitas karena banyaknya jenis mangrove yang rusak dan salah satu penyebabnya banyaknya limbah rumpon yang tersangkut di akar mangrove. Vegetasi mangrove ini tumbuh dan hidup di pinggir pantai secara berkelompok-kelompok dan di sebelah selatan tidak membentuk suatu kawasan hutan yang lebat kecuali di sebelah barat yang kawasan hutan mangrovenya agak lebih lebat sedangkan untuk di sebelah timur kawasan hutan mangrovenya tinggal sedikit. Jenis Lamun dari hasil pengamatan praktek lapangan kami yaitu Enhallus acoroides, Thallasia hemprichii, Cymodocea rotundata, Alga, Padina australis, Padina aminor, Halimeda opuntia, Halimeda makroloba, Sargassum hydrocatus dan ada dua jenis lamun lagi yang tidak kami ketahui jenisnya. Sedangkan jenis terumbu karang banyak dijumpai di daerah timur Bungkutoko dimana tempat tersebut juga memiliki potensi untuk wisata. Selain tumbuhan tersebut, di wilayah ini juga terdapat beberapa jenis burung laut yang berasosiasi dengan ekosistem yang terdapat di wilayah tersebut. Jenis-jenis burung laut tersebut adalah burung Blekok, Cerek dan Dara Laut Hitam.
Berikut ini adalah gambar berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang terdapat di perairan pantai desa Bungku Toko :
1. Mangrove yang terdapat di perairan pantai desa Bungku Toko yaitu :





Gambar 2. Sonneratia sp. dan Rhizophora sp.




2. Jenis lamun yang terdapat di perairan pantai desa Bungku Toko yaitu :







Gambar 3. Enhallus acoroides dan Cymodocea rotundata
3. Beberapa jenis burung laut yang terdapat di perairan pantai Desa Bungkutoko yaitu :






Gambar 4. Blekok, Cerek dan Dara Laut Hitam
c. Cara Pencapaian (Aksesibilitas)
Pulau Bongkotoko merupakan salah satu pulau yang letaknya berhadapan dengan Teluk Kendari yang merupakan alur pelayaran kapal-kapal yang datang dari luar wilayah Kendari. Untuk mencapai wilayah ini kita bisa menggunakan jalur darat maupun laut. Apabila menggunakan jalur darat kita menggunakan mobil atau kendaraan umum (carter) selama kurang 45 menit dari kota Kendari, apabila menggunakan speed boat (body) selama kurang dari 30 menit dari kota Kendari.
d. Kegiatan dan Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi saat ini, yaitu adanya pembangunan pelabuhan kontainer yang mengganggu sumberdaya dan ekosistem perairan yang terdapat di wilayah tersebut.
Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya perairan di wilayah ini yaitu kegiatan penangkapan beberapa jenis biota seperti ikan Baronang, Ikan Putih, Ikan Katamba, cumi dan Kepiting. Selain itu, masyarakat juga melakukan kegiatan budidaya Nelayan budidaya memanfaatkan atau membudidayakan pikan Kerapu tikus, Kerang Mabe dan Rumput laut.
e. Penentuan dan Penilaian Tipe Kawasan Konservasi Di Perairan Pantai Desa Bungkutoko
Tabel 1. Skor dan Bobot Nilai Kawasan Konservasi Perairan Pantai Desa Bungkutoko
No. PARAMETER FL FN KF LL CAL SML TNL TWAL
K SK K SK K SK K SK
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14. Keterwakilan
Keaslian
Keunikan
Kelangkaan
Laju Kepunahan
Keutuhan Ekosistem
Keutuhan Sumberdaya
Luasan
Keindahan Alam
Kenyamanan
Aksesibilitas
Nilai Sejarah
Kehendak Politik
Aspirasi Masyarakat 3
4
3
4
3
3
2
2
2 4
4
2
3
4
4
3
4
3








2
3
1












5
4 *
-
*
*
*
*
*
4
-
2
1
5
3
3
*
-
-
-
*
*
*
-
3
-
-
-
4
2
2
-
*
-
-

*
*
*
-
-
-
*
-
*
* 3
-
-

3
2
3
-
-
-
4
-
4
2 *
-
-




*
-
-
*
-
*
* 4
-
-




3
-
-
4
-
4
3
Nilai Bobot 18/7 11/8 21/13 18/9
Keterangan :
FL : Flora LL : Lainnya SML : Suaka Margasatwa
FN : Fauna SK : Skor TWAL : Taman Wisata Alam Laut
KF : Kondisi Fisik * : Ya TNL : Taman Nasional Laut
- : Tidak Memenuhi K : Kriteria CAL : Cagar Alam Laut
Syarat


Kesimpulan :
Berdasarkan kriteria penentuan kawasan konservasi di atas, maka nilai bobot untuk masing-masing kriteria kawasan konservasi adalah :
CAL : 18/7 atau 2,57
SML : 11/8 atau 1,37 CAL>TWAL>TNL>SML
TNL : 21/13 atau 1,61
TWAL : 18/9 atau 2
Dengan demikian maka lokasi perairan pantai Desa Bungkutoko lebih cocok untuk kegiatan Cagar Alam Laut (CAL). Sehingga segala kegiatan yang akan dilakukan di daerah Perairan pantai Desa Bungkutoko dan di perairan sekitarnya sebaiknya dikelola dengan konsep pengelolaan Cagar Alam Laut .
f. Penentuan Zonasi Di Daerah Perairan Pantai Desa Bungkutoko
Untuk penentuan zonasi di kawasan tersebut dibagi beberapa zona aktivitas diantaranya adalah :









Gambar 5. Rancangan Penentuan Zonasi di Perairan Pantai Bungkutoko



a. Zona Inti









Gambar 6. Rancangan Penentuan Zona Pemanfaatan di Perairan Pantai Bungkutoko
Berdasarkan peta lokasi di atas, dapat dilihat zona inti terletak di sebelah selatan dari Perairan Pantai Bungkutoko. Zona ini merupakan zona pusat dari perairan pantai Bungku Toko dimana di wilayah ini terdapat hutan mangrove yang kondisinya masih baik sehingga perlu dijaga dan dilindungi.
Di dalam hubungan zona inti dengan lingkungannya, area ini digolongankan sebagai area steril yang memiliki keterbatasan aksesibilitas dan aktivitas. Seluruh lahan di areal ini hanya diperkenankan untuk aktivitas yang berhubungan dengan eksplorasi. Akses ke area ini juga terbatas untuk publik dan dibatasi hanya pihak yang berkepentingan dengan aktivitas di atas yang dapat mengaksesnya.

b. Zona Penyangga









Gambar 7. Rancangan Penentuan Zona Penyangga di Perairan Pantai Bungkutoko
Zona ini berada di layer kedua dan berfungsi sebagai kawasan penyangga/buffer bagi kawasan inti. Zona penyangga di Perairan Pantai Bungkutoko terletak di sebelah barat. Di zona ini, juga masih terdapat tumbuhan mangrove. Sebagai kawasan penyangga, maka fungsi utamanya adalah dalam rangka mendukung produktivitas zona inti dengan melestarikan dan mempertahankan (conserve) lingkungan alam di kawasan ini.
Namun demikian, beberapa aktivitas tertentu masih memungkinkan untuk diletakan di zona ini. Aktivitas yang diperkenankan di zona ini adalah pemanfaatan alam yang sifatnya tidak memberikan perubahan fisik lingkungan alam seperti kegitan penelitian.


c. Zona Pemanfaatan








Gambar 8. Rancangan Penentuan Zona Pemanfaatan di Perairan Pantai Bungkutoko
Zona pemanfaatan terletak di sebelah Timur Perairan Pantai Bungkutoko. Di dalam zona ini, pemanfaatan dapat dilakukan dengan lebih leluasa dibandingkan dengan zona-zona sebelumnya. Sebagai wilayah yang terletak di bagian paling luar/depan, maka salah satu fungsinya yaitu sebagai jalur transportasi laut dan di wilayah ini juga sedang dilaksanakan pembangunan pelabuhan countainer. Selain itu, dalam pengembangan zona pemanfaatan ini kegiatan yang dapat dilakukan adalah kegiatan pariwisata. Pengembangan dan pengelola fasilitas-fasilitas yang berada di area ini dapat dikembangkan dengan kerjasama antar pemerintah, pihak swasta dan dengan keterlibatan masyarakat yang berada di wilayah perairan desa Bungku Toko.
Pengembangan pada wilayah ini harus dioptimalkan agar dapat memperbesar peluang usaha kegiatan wisata. Untuk menunjang kegiatan pariwisata ini, perlu adanya fasilitas-fasilitas yang member kenyamanan bagi para wisatawan seperti :
• Fasilitas Penunjang Wisata
Fasilitas penunjang wisata merupakan produk daya tarik wisata itu sendiri, dapat berupa aset fisik, iklim, kebudayaan, dan aset lainnya.
Sebuah objek wisata yang baik tentu harus pula dilengkapi dengan fasilitas penunjang wisata yang sesuai dengan objek wisata itu sendiri. Fasilitas penunjang wisata dapat berupa:
1. Akomodasi (hotel, penginapan, youth hostel, dsb)
2. Food and Beverage (restaurant, café,dsb)
3. Area komersil (pasar tradisional)
• Infrastruktur

Jenis-jenis infrastruktur yang dibutuhkan dalam kawasan wisata ini harus sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Kelengkapan infrastruktur sangat penting bagi untuk menunjang pengembangan pariwisata. Infrastruktur ini berupa :
1. Jalan raya
2. Jalur transportasi laut
3. Pelabuhan laut
4. Penyediaan air bersih
5. Saluran pembuangan (drainase)
6. Penyediaan tenaga listrik
7. Telekomunikasi (telepon)

• Hospitality
Selain hal-hal fisik seperti tersebut di atas, hal lain yang harus dipersiapkan adalah kesiapan masyarakat. Pembinaan masyarakat mengenai wawasan pariwisata, pengembangan hospitality masyarakat juga merupakan salah satu kunci penting dalam pengembangan pariwisata. Hal ini dapat dikembangkan dengan cara kelembagaan kepada masyarakat seperti:
• Penyuluhan mengenai kegiatan pariwisata dan keuntungannya bagi masyarakat.
• Pelatihan
Seperti yang kita ketahui bahwa zona pemanfaatan adalah kawasan yang didalamnya dapat dilakukan berbagai kegiatan pemanfaatan. Meskipun demikian, pengembangan dan pembangunan elemen fisik buatan di kawasan ini juga tetap mengedepankan aspek konservasi lingkungan alam. Zona ini memiliki sifat sangat publik dan dapat diakses publik dengan bebas. Aktivitas yang dapat diwadahi di kawasan ini pun lebih beragam dan fleksibel.






V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dan pembahasan pada praktek lapangan di Bungkutoko ini dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1. Bungkutoko mempunyai daratan yang terdiri dari perbukitan yang membentang dari bagian barat sampai bagian selatan. Sedangkan bagian timur dan utara relatif rata.
2. Penentuan zonasi di daerah perairan pantai desa Bungkutoko yaitu zona inti terletak di sebelah selatan, zona penyangga terletak di sebelah barat, dan zona pemanfaatan terletak di sebelah timur.
3. Tipe kawasan konservasi di perairan pantai desa Bungkutoko yang cocok yaitu cagar alam laut.
B. Saran
Ekosistem pesisir saat ini merupakan ekosistem yang sangat banyak mendapat perhatian dari berbagai stakeholder karena memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu, kita perlu menjaga dan melestarikan potensi kekayaan alam ini ekosistem tersebut diatas mengingat keberadaan dari ekosistem tersebut saat ini mulai mengalami kerusakan yang diakibatkan dengan pola pengelolaan wilayah perairan pantai yang tidak berkelanjutan.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Penuntun Praktek Konservasi Sumberdaya Hayati Perairan. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari.
Pangerang, U.K. 2000. Konservasi Sumberdaya Hayati Perairan. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.
Dermawan, A., A. Rusandi, D. Sutono, Suraji. 2008. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Mendukung Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan. Makalah Konferensi Nasional VI .Manado.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar