Jumat, 25 Maret 2011

konservasi 3

CONTOH KASUS :
SAATNYA KABUPATEN/KOTA MENATA PESISIR
Rabu, 03 September 2008 - oleh : admin | 413 x dibaca
SAATNYA KABUPATEN/KOTA MENATA PESISIR
Laju kerusakan hutan bakau diduga sekitar 200.000 hektar per tahun di berbagai wilayah; terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa (LIPI,2008). Di Jawa sudah hampir habis, namun demikian masih saja terjadi alih fungsi lahan kawasan bakau; terutama untuk pertambakan, permukiman, bahkan kawasan industri. Luasan yang fantastis ini akan merusak kelestarian lingkungan hidup bagi sumberdaya hayati pesisir termasuk biota di dalamnya. Dengan meningkatnya kerusakan tersebut; sementara tahun 1993 luas hutan bakau 2,49 juta hektar; oleh para peneliti LIPI saat ini dinyatakan tinggal 1,2 juta hektar; satu pekerjaan rumah semua pihak guna mengamankan hutan mangrove yang merupakan bagian wilayah pesisir yang rentan kerusakan di negeri ini.
Alih fungsi lahan pesisir
Rokhmin Dahuri yang mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2004 pernah mengatakan pembangunan pesisir di Indonesia berada di persimpangan jalan (at the cross road). Satu sisi menghadapi wilayah pesisir yang padat penduduk, sedangkan sisi lain dinamika pembangunan sedemikian intensif, seperti terjadi di pantai utara Jawa, Bali, pesisir antara Balikpapan dan Bontang di Kalimantan Timur; demikian pula halnya di Sulawesi Selatan. Di wilayah ini kapasitas keberlanjutan dari banyak ekosistem terancam oleh pola pembangunan yang unsustainable development (tidak berkelanjutan) akibat i pencemaran, erosi degradasi fisik habitat pesisir, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, dan juga konflik penggunaan ruang maupun sumber daya.
Kasus alih fungsi hutan mangrove di Banyuasin Sumatera Selatan berubah menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api misalnya; menuai masalah suap beberapa waktu lalu cukup memprihatinkan. Tetapi yang lebih memprihatinkan lagi sebenarnya adalah alih fungsi akan dibarengi perubahan lingkungan/ekosistem mangrove yang kaya sumber daya hayati. Dampak negatif yang kurang diantisipasi oleh pembuat kebijakan, bagaimana alih fungsi menjadi kurang menguntungkan untuk generasi mendatang akibat degradasi kondisi lingkungan yang ujung-ujungnya produktifitas sumber daya hayati menurun? Keadaan seperti ini apa merupakan gejala kepedulian terhadap lingkungan pesisir belum membumi di kalangan pemangku kepentingan? Sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah propinsi/kabupaten/kota mempunyai legalitas tata ruang wilayah yang ditaati semua pihak. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwasanya yang sudah adapun sering “dilanggar” hanya untuk kepentingan sesaat, sehingga banjir pasang laut terjadi dimana-mana akibat pemanfaatan dan penataan pesisir yang tidak rasional.
Disisi lain, secara emperis ada keterkaitan ekologis; hubungan fungsional antar habitat ekosistem pesisir dengan lahan di atasnya maupun laut lepas. Perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir; seperti mangrove misalnya; maka cepat atau lambat mempengaruhi ekosistem lainnya. Demikian pula halnya dengan pengelolaan lahan di atas (daerah aliran sungai/DAS) jika tidak dilakukan secara arif dan berwawasan lingkungan dampak negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir. Secara ekologis-ekonomis pun pemanfaatan kawasan pesisir secara mono culture atau single use sangat rentan terhadap perubahan internal/eksternal yang menjurus kegagalan; karena tidak ada kesimbangan lingkungan. Sebagai contoh misalnya pembangunan tambak udang pantura Jawa sejak tahun 1982 mengonversi hampir semua kawasan pesisir termasuk mangrove menjadi lahan pertambakan, lalu apa yang terjadi ? Tidak lain adalah peledakan wabah Monodon baculo virus (MBV); dan tambak terserang penyakit yang merugikan; alhasil petambak bangkrut sebagai akibat ambisinya menikmati daya dukung alami secara tidak terbatas. Ganjalan lainnya terkait rusak parahnya pesisir timbul ancaman akan kepunahan sejumlah satwa langka. Pantauan para ahli menyatakan bahwasanya kerusakan serius yang terjadi di kawasan lindung pesisir tempat tinggal sejumlah satwa langka, seperti elang laut, babi hutan, biawak, berbagai jenis burung kicau, ikan pesut dll akan mengurangi dan bahkan memusnahkan aset biologi yang bermanfaat bagi manusia.
Salah satu syarat yang secara ekologis menjamin pembangunan berkelanjutan, keharmonisan spasial (spatial sustainability); maka didalam suatu wilayah tidak seluruhnya digunakan untuk zona pemanfaatan; tetapi harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Keberadaan zona preservasi dan konservasi di suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah dan sebagai sumber keanekaragaman hayati (biodiversity). Sesuai kondisi alamiah zona preservasi maupun konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan berkelanjutan sebaiknya antara 30%-50% dari luas total. Kemudian zona pemanfaatan sebaiknya ditetapkan pada lokasi dengan kondisi fisik yang sesuai sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis; tanpa mengganggu keseimbangan lingkungannya.
Ada kasus alih fungsi lahan yang melibatkan sejumlah anggota DPR, lalu muncul persoalan kerusakan ratusan hektar hutan bakau habitat berbagai satwa yang kini sudah tergolong langka seharusnya menjadi pelajaran agar kita tidak menunda-nunda lagi menata pesisir secara konsekuen; “better late than never” dari pada tidak berbuat sama sekali. Kadangkala pembuat kebijakan lupa arti pentingnya “mengamankan” sumberdaya pesisir, sehingga pemanfaatannya menjadi tidak terkendali; ujung-ujungnya kerusakan lingkungan yang parah menjadi penyebab bencana alam dan bencana ekonoimi masyarakat pesisir. Bagamana pun upaya menata pesisir yang baik merupakan faktor kunci terwujudnya pembangunan berkelanjutan masa sekarang dan yang akan datang.
Menata pesisir, perlu legalitas
Wilayah pesisir sebagaimana tercantum dalam UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; Pasal 1 Angka 2 : “Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem di darat dan di laut”; kearah laut sampai batas 12 mil laut, sedangkan di darat sebatas kecamatan pesisir. Supaya pembangunan kawasan pesisir bisa langgeng berkelanjutan; maka perlu ada pemintakatan (zonasi) yang tepat dalam mengalokasikan ruang, memilah kegiatan sinergis, dan pengendaliannya. Dengan pemintakatan berarti wilayah pesisir menjadi zona sesuai peruntukannya, kegiatan yang saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible). Dari itu pemintakatan harus memperhatikan : pertama, mempertimbangkan kebijakan pemerintah pusat/daerah, kepentingan masyarakat, dan hak-hak ulayat; kedua, bio-ekoregion karena wilayah pesisir dibentuk oleh sub-ekosistem yang saling berkaitan; ketiga, persepsi masyarakat yang hidup di sekitar ekosistem, berkaitan dengan konteks histori pemanfaatan sumberdaya hayati masa lampau sampai saat ini serta implikasinya terhadap keberlanjutan sumberdaya.
Pemintakatan wilayah pesisir tentu saja harus mempedomani peraturan perundangn yang ada dan saling berkaitan; seperti UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah disempurnakan menjadi UU No. 12 Tahun 2008 dlsb. Dengan demikian pemintakatan tersebut menjadi produk hukum yang benar-benar menganut peruntukan yang sesuai dan dominan di wilayah pesisir. Agar supaya mengikat semua stakeholders, maka perlu ada “pernyataan pemintakatan” berupa legalitas yang rasional, misalnya dalam bentuk peraturan daerah (Perda) Kabupaten/Kota yang berwibawa dan konsisten; serta dibarengi “penanaman etika pembangunan berkelanjutan” melalui sentuhan nilai-nilai sosial budaya dan keagamaan.
Dalam upaya menata pesisir masa depan, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi. Jawa Timur sudah mengulur “pancing” berupa kegiatan proyek tata ruang pesisir atau bentuk lain, seperti dilakukan di Kabupaten-kabupaten Situbondo, Tuban, Probolinggo Pacitan, , Banyuwangi dll. Kiranya hasil tata ruang tersebut perlu ditindak lanjuti secara positif oleh Pemerintah Kabupaten/Kota pantai dengan menyusun rancangan peraturan daerah sebagai embrio peraturan daerah (Perda) yang mantap dan konsisten dalam pelaksanaannya. Keberadaan perda tersebut akan membentengi dari perbuatan tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab dalam memanfaatkan sumberdaya pesiri demi keuntungan yang hanya sesaat bagi kelompoknya. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota Kawasan Pesisir, jangan hanya memprioritaskan Perda penghasil PAD saja; tetapi hasilkan Perda yang mensejahterakan masyarakat; seperti halnya Perda penataan pesisir, yang berfungsi sebagai “tabungan potensi pembangunan” demi masa depan bangsa.
Kini saatnya para pimpinan daerah kawasan pantai menunjukkan prestasinya mengangkat harkat hidup nelayan dan masyarakat pesisir dengan mewujudkan penataan ruang pesisir yang bertanggung jawab sesuai kaidah hukum di Indonesia maupun internasional seperti tercantum di dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Dan kepada para Anggota Dewan, senyampang masih ada kesempatan satu tahun tunjukkan karya mulia bersama Bupati/Walikota Kawasan Pesisir menyusun dan sekaligus mengsahkan peraturan daerah tentang tata ruang pesisir demi anak cucu kita.
(Sumber : Djoko Tribawono, Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI) Jatim Dosen Tidak Tetap PS Budidaya Perairan FKH-UNAIR Pemerhati Hukum/Peraturan Perikanan-Kelautan Tinggal di Surabaya. Anggota Forum Illegal Fishing Indonesia).
kirim ke teman | versi cetak
http://www.p2sdkpkendari.com/?pilih=news&aksi=lihat&id=373 diakses tanggal 23 november 2009.
















PENERAPAN KONSEP KONSERVSI SUMBER DAYA HAYATI PERAIRAN
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui yang mempunyai banyak sekali manfaat baik manfaat dari segi ekologis, segi fisik maupun segi ekonomis. Secara ekologis ekosistem mangrove memberikan manfaat yang besar terhadap lingkungan di wilayah pesisir diantaranya (1) menciptakan iklim mikro yang baik. Salah satu jenis mangrove yang banyak dijumpai adalah Rhizophora mucronata. Jenis mangrove ini mempunyai tajuk yang padat dan hijau yang bisa membentuk iklim mikro yang baik bagi wilayah pesisir di sekitarnya ; (2) ekosistem mangrove mampu memelihara dan memperbaiki kualitas air sehingga bisa mereduksi keberadaan polutan atau zat pencemar air lainnya. Hasil penelitian menyatakan bahwa vegetasi mangrove mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi logam berat dengan cara menyerap ion-ion dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel kemudian menetralkan kembali. Sebagai contoh, pohon api-api (Avicennia marina) memiliki upaya penanggulangan materi toksik dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam tersebut. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh vegetasi mangrove akan mengalami pengikatan dan penurunan daya racun, karena diolah menjadi bentuk-bentuk persenyawaan yang lebih sederhana; (3) sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembang biak (nursery ground) bagi jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya. Mangrove mempunyai nilai produksi bersih yang cukup tinggi, yaitu : biomassa (62,9-398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan riap volume (20 tcal/ha/th. 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun). Dengan nilai produksi bersih yang cukup tinggi mempunyai peranan yang cukup berarti bagi kelangsungan rantai kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir; (4) ekositem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi. Sebagai contoh, ekosistem mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002).
Secara fisik mangrove memiliki fungsi diantaranya : (1) menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil. Keberadaan akar mangrove yang menghujam ke tanah mampu mengikat tanah agar tetap stabil sehingga sangat bagus ditanam digaris pantai maupun di sekitar kanan kiri sungai agar tidak terjadi abrasi maupun erosi tebing sungai ; (2) mempercepat perluasan lahan melalui proses sedimentasi. Substrat atau lumpur yang terbawa oleh ombak yang diikat oleh mangrove lama-kelamaan menjadi semakin luas karena vegetasi mangrove makin hari makin bertambah dan makin menjorok ke arah laut sehingga luasan lahan daratan atau yang lebih dikenal dengan tanah timbul bisa dimanfaatkan oleh masyarakt pesisir untuk membuat tambak demi meningkatkan perekonomian mereka ; (3) mengendalikan intrusi air laut. Sering kali dijumpai disuatu daerah pesisir dengan vegetasi mangrove yang jarang air tanahnya menjadi asin karena pengaruh intrusi (masuknya) air laut ke daratan yang cuup tinggi, sebaliknya di daerah yang vegetasi mangrovenya tebal dengan jarak yang sama dari garis pantai ternyata air tanahnya tidak asin, hal ini menunjukkan adanya pengaruh keberadaan mangrove terhadap intrusi air laut ; (3) melindungi daerah di belakang mengrove dari hempasan gelombang, angin kencang dan mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian menunjukkan hutan mangrove dengan ketebalan 60 hingga 70 meter dari bibir pantai mereduksi ketinggian gelombang laut mencapai 3,5 mater. Jadi jika di suatu daerah yang mempunyai hutan mangrove selebar 65 meter, apabila terjadi gelombang pasang setinggi 4,5 meter dapat direndam sehingga menjadi 1 meter (Pratikto, 2002). Bentangan hutan mangrove sejauh 1200 meter mampu mengurangi gelombang tsunami mencapai 2 km. Struktur hutan mangrove dengan ketinggian pohon mencapai 20 meter dan dengan akar napas yang rapat sedikit banyak memiliki peran sebagai pemecah gelombang yang efektif sehingga kekuatan dan kecepatan gelombang bisa tereduksi. Dengan demikian ekosistem mangrove dapat berperan sebagai penghambat energi gelombang sehingga jika terjadi bencana tsunami efek kerusakan yang ditimbulkan tidak terlalu besar.
Secara ekonomis mangrove berfungsi sebagai (1) menghasilkan hasil hutan berupa kayu. Kayu bakau merupakan penghasil arang yang baik. Harga arang bakau satu kantong plastik ukuran sedang bisa mencapai Rp 12.000,- ini merupakan potensi ekonomi yang menjanjikan tentunya harus dikelola dengan sistem pemanenan kayu yang terencana dengan baik sehingga tidak terjadi overcuting ; (2) hasil hutan berupa non kayu, madu, obat-obatan, minuman dan makanan, tanin (zat penyamak kulit), serat sintetis dan produk komersial lainnya; (3) sarana ekotourisme ; (4) wanamina/pertambakan.
Apakah Anda sadar, bahwa (1) asap motor dan mobil Anda yang beracun itu, telah diserap dengan baik oleh dedaunan mangrove sehingga udara di kota kita menjadi bersih dan sehat? Lalu, apakah Anda juga tidak ingat bahwa (2) daun-daun mangrove yang lebat, berguna sekali dalam menyerap karbon untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang saat ini menjadi ancaman serius bagi umat manusia, yaitu pemanasan global. Tak hanya itu, bahkan bagi Anda yang seringkali melancong ke daerah-daerah wisata lalu menginap di hotelnya, (3) air hotel yang tawar dan dingin itu, tak akan mungkin bisa seperti itu, apabila tidak dilindungi oleh akar-akar mangrove dari intrusi air laut yang asin. Satu hal lagi, (4) setiap kali Anda membuang sampah apapun bentuknya, maka saat sampah Anda mencapai pesisir, maka mangrove yang baik, telah menetralisirnya sehingga laut kita menjadi sangat bersih dan tak tercemar lagi. Intinya, (5) masih banyak lagi manfaat mangrove lainnya, bagi Anda yang tinggal jauh dari wilayah pesisir, yang “tentu saja” tak Anda sadari.
Permasalahan utama tentang tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal mangrove menjadi areal pemukiman, kegiatan-kegiatan komersil, industri dan pertanian. selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu telah menyebabkan eksploitasi berlebihan dari hutan mangrove. kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya peraian atau dengan kat lain terjadi kegiatan ahli fengsi dari lahan mangrove. Kegiatan terakhir ini memberikan kontribusi terbesar dalam pengrusakan ekosistem mengroe.
Melihat permasalahan di atas maka penerapan konsep konservasi yang baik adalah adanya perencanaan dan pengelolaan secara terintegrasi dan terpadu terutama penataan ruang pembangunan wilayah pesisir dan pemintakan wilayah pesisir sehingga kegiatan yang dapat merusak ekosistem mangrove salah satunya adalah ahli fungsi lahan mangrove untuk beberapa kegiatan dapat diminimalisir atau di cegah.
adapun penerapan konsep konservasi untuk ekosisitem mangrove untuk meminimlisir terjadinya ahli fungsi lahan mangrove adalah sebagai berikut :
1. Mencegah terjadinya sedimentasi dan erosi pengendapan yang berlebihan melalui cara pemeliharaan karakter substrat lahan mangrove dan menjaga keseimbangan antara pertambahan tnah, erosi, sedimentasi serta saluran-saluran air.
2. Menetapkan batas mksimum untuk seluruh hasil panen yang dapat diproduksi sehingga tidak terjadi eksploitasi hutan mangrove secara berlebihan, salah satunya terjadi penebangan mangrove yang di ahli fungsikan sebagai kegiatan tambak, pemukiman tidak berlebihan.
3. Pemerintah dan stakeholders yng terkait melakukan pemintakatan wilayah pesisir tentu saja harus mempedomani peraturan perundangn yang ada dan saling berkaitan; seperti UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah disempurnakan menjadi UU No. 12 Tahun 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar